Sebuah iklan tentang air bersih di sebuah stasiun televisi suasta cukup populer kurang lebih 3 tahun lalu terutama bagi mereka yang memiliki ikatan sosial atau perhatian dengan daerah yang menjadi lokasi shooting iklan tersebut, yakni sebuah kabupaten di NTT yang terkenal sebagai daerah kering dan sering dilanda musim kemarau berkepanjangan. Kalimat “Sumber air sudah dekat” yang dilontarkan seorang bocah dalam iklan itu menjadi terkenal dan sering digunakan orang-orang sebagai guyonan. Ketika saya baru menyelesaikan kuliah di sebuah universitas di NTT dan mulai mengadu nasib di Jakarta, teman-teman di kantor sering melontarkan kalimat itu saat bercanda.
Antara Kebutuhan Pokok dan Status Sosial
“Sumber air sudah dekat” adalah sebuah ungkapan kebanggaan, harapan dan juga rasa syukur dari sebuah komunitas masyarakat yang mendapat bantuan sumur air dari sebuah NGO sebagaimana digambarkan dalam iklan yang disinggung di atas. Kalimat itu bukan untuk gagah-gagahan. Orang-orang yang sejak kecil hidup dengan cukup air atau bahkan berlebihan, mungkin merasa geli atau heran ketika menyaksikan iklan dan mendengar kalimat seperti itu. Mereka tidak mengerti atau sulit merasakan betapa mahalnya air bagi masyarakat yang tinggal di daerah tandus dan kering seperti NTT. Karena itulah saya tidak pernah tersinggung ketika mendengar guyonan tentang “sumber air sudah dekat” itu dari teman-teman di Jakarta.
Di musim kemarau yang bisa berlangsung berbulan-bulan, masyarakat di sejumlah daerah di NTT mesti hidup dengan penggunaan air “super irit” karena pemborosan air sama dengan pemborosan uang. Mereka mesti mengeluarkan uang Rp. 90 ribu untuk satu tangki air bersih yang hanya cukup untuk kebutuhan satu minggu. Harga itu cukup mahal bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, tapi mereka tidak punya pilihan lain karena satu-satunya sumber air di musim kemarau adalah sumur bor yang hanya dimiliki segelintir orang dan dijadikan sebagai lahan bisnis.
Dengan status air sebagai kebutuhan vital yang mahal dan sulit didapat, tidak mengherankan jika status sosial seseorang juga sering diukur dari kepemilikan fasilitas yang berhubungan dengan air. Di Kabupaten Sikka (Flores, NTT) lazim kita temukan sebuah bak penampungan air yang lebih besar dari kamar tidur. Fasilitas seperti itu termasuk mewah dan hanya beberapa orang sanggup memilikinya dalam sebuah kampung. Fasilitas yang lebih mewah lagi adalah sumur yang digali secara manual. Proses pengerjaannya yang berlangsung lama dan mesti melibatkan banyak orang, membuat fasilitas ini lebih mahal dibanding bak penampungan air. Selain karena harus menggali sangat dalam untuk mendapatkan mata air, para penggali juga harus mengangkat banyak batu-batu besar, karena itu dibutuhkan banyak tenaga dan biaya. Di atasnya adalah sumur bor yang masih sangat jarang. Fasilitas-fasilitas seperti itu sering kali dijadikan sebagai tolok ukur tentang status sosial seseorang.
Jakarta adalah cerita lain dengan tema yang sama. Di kota metropolit ini, air juga sering digunakan sebagai status sosial dan bagian dari life style, tapi dalam bentuk yang lebih vulgar. Saya kerap mendapat cerita dari teman-teman tentang rumah mewah seorang rekanan bisnis perusahaan tempat saya bekerja. “Dia punya kolam renang di rumahnya” kata mereka dengan penuh rasa kagum. Kolam renang pribadi menjadi bagian dari status sosial dan ekonomi para eksekutif, politisi dan pengusaha sukses. Coba putar kembali liputan media terhadap rumah mewah para politisi yang tersangkut korupsi. Kolam renang biasanya disorot untuk menegaskan bahwa rumah itu cukup mewah dan mahal.
Demi gengsi dan status, kaum berduit menghambur-hamburkan air. Bagi mereka, air itu seksi, menarik, memiliki pesona sebagai sarana penegasan status. Untuk itu mereka tega melakukan pemborosan air untuk mengisi kolam kemudian membuang dan menggantinya lagi dengan air baru. Air dalam volume besar itu hanya dinikmati sesaat oleh segelintir orang. Sementara bagi sebagian masyarakat di daerah, air itu seksi karena merupakan sumber kehidupan. Kadang memang bagi mereka air juga simbol status, tapi itu diwujudkan dengan memilikinya, memamfaatkannya secara maksimal, bukan dengan menghambur-hamburkannya.
Menghormati Air
Kendati disediakan alam secara gratis, rupanya air juga seksi dalam bagi pelaku industri. Perusahaan air minum kemasan seperti AQUA bisa tumbuh menjadi perusahaan raksasa. Kunci di belakang keberhasilan itu menurut saya adalah adanya penghormatan terhadap air sebagai sumber kehidupan. Dengan prinsip itu, dapat diwujudkan produk-produk yang sehat dan praktis untuk memenuhi kebutuhan jutaan orang akan air. Mungkin satu abad yang lalu, belum ada orang yang berpikir bahwa air bisa menjadi sebuah produk industri besar. Karena di benak orang, air minum dapat disediakan dengan mudah oleh semua orang. Tapi dari waktu ke waktu orang semakin sibuk dan butuh produk-produk praktis dan simpel dengan mutu yang baik. Kebutuhan itulah yang dijawab dengan baik
Sesungguhnya, produk air kemasan bisa juga membuat orang menjadi konsumtif dan boros terhadap pemakaian air. Kini lazim kita saksikan botol-botol bekas berisi air di tempat-tempat nongkrong, rumah makan dan di berbagai ruang publik. Kita sering membeli air kemasan, meneguk isinya sedikit dan meninggalkannya begitu saja. Kemudian kita beli lagi yang baru di tempat lain ketika rasa haus kembali mendera. Apa salahnya kalau kita membawa air yang masih sisa untuk diminum di rumah atau di tempat lain. Tindakan seperti ini memang sederhana dan berdampak kecil, tapi bermamfaat dalam mengembangkan sikap hormat kita kepada air dan sebagai bentuk empati kepada saudara-saudara kita yang masih kesulitan mendapatkan air hingga hari ini. Tindakan lebih besar yang mungkin bisa kita lakukan adalah mendorong pemerintah membuat aturan ketat tentang pendirian kolam renang agar orang-orang berduit tidak seenak udelnya melakukan pemborosan air demi memuaskan nafsu pamer kekayaan. Karena air itu seksi dan akan selalu ada godaan memamfaatkannya untuk hal-hal yang mencederai nilai-nilai luhur kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H