Lihat ke Halaman Asli

Pemenang Sejati atau 'Sejati'?

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemenang Sejati atau 'Sejati' ?

Aku telah menunggumu hampir dua setengah tahun. Aku menantimu hingga aku sedikit stress memikirkanmu. Banyak halang rintang dan godaan yang terhampar di jalanku selama aku menunggumu tiba. Namun, di mulutmu hanya terbesit senyum misterius. Senyuman yang aku tak tahu apa maksudnya. Senyuman yang mengandung suatu hal yang akan menentukan jalan hidupku nanti. Dan kini, dipenghujung aku sekolah, halang rintang itu kian menjadi-jadi. Halang rintang dan cobaan yang menempaku untuk siap mendengarkan jawaban atas penantianku selama dua setengah tahun. Harus kuakui, engkau memang handal menyembunyikan kemisteriusan itu. Namun, aku harus siap untuk menyibak kemisteriusan yang engkau sembunyikan tersebut.

Sebentar lagi, seluruh siswa kelas dua belas se-Indonesia akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Kelas dua belas menjadi tumpuan bagi sekolah masing-masing untuk dapat meloloskan diri dari yang namanya UN tersebut demi nama baik sekolah dan atas nama program sekolah gratis bagi mereka yang sekolah di daerah sekolah bebas biaya. Tentunya persiapan sudah dilakukan semaksimal mungkin untuk dapat menjawab soal-soal UN tersebut. Entah itu persiapan ala sang pemenang sejati, ataupun persiapan ala sang ‘pemenang’ sejati. Persiapan ala pemenang sejati, mereka bergulat selama dua setengah tahun mencari peluru-peluru untuk dapat melumpuhkan tameng-tameng soal UN. Namun, persiapan ala ‘pemenang’ sejati, bagaimana?

Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah UN tersebut dapat menjadi tolak ukur yang ideal untuk standar kelulusan?

Eksistensi dan pelaksanaan UN yang benar-benar diharapkan adalah UN yang JURDIL. Jujur dan adil. Itu dari sudut pandang pemerintah. Kalau dari sudut pandang siswa, UN yang diharapkan adalah UN yang lulus dengan segala cara, luput dari mata pengawas. Sangat bertolak belakang antara pihak pemerintah dengan pihak diperintah (baca:siswa). Pihak yang mencanangkan UN berasas JURDIL tersebut memang sangat memperhatikan masa depan Indonesia yang nantinya akan menggunakan tenaga-tenaga berkualitas. Salah satu jalannya yaitu menyeleksi tenaga-tenaga tersebut dengan UN berasas JURDIL. Namun, sekarang bukan hanya siswa yang berkualitas yang ingin lulus. Siswa yang selama 3 bulan berturut-turut bolos sekolah saja ingin merasakan bagaimana lulus UN. Yang tentunya siswa tersebut tidak masuk hitungan sebagai generasi penerus bangsa yang berkualitas.

UN harus diberhentikan!

Itulah inti dari beberapa ‘kicauan’ pihak-pihak yang berpikir kritis melihat fenomena UN di negeri ini. Ratusan juta pemerintah habiskan untuk menyelenggarakan seleksi lulus-nonlulus siswa kelas dua belas. Namun tetap saja asas JURDIL tidak terlaksana. Malahan yang terlaksana adalah invers dari asas itu sendiri. Jujur jadi tidak jujur. Adil jadi tidak adil.

Sebenarnya, bagaimana teknis UN yang JURDIL tersebut?

Kalau menurut teori, UN yang jujur itu, belajar, pergi ke tempat ujian, duduk tenang, mengisi biodata, menjawab soal, dan semua itu benar-benar menggunakan otak sendiri, tanpa meminjam isi otak orang lain. Sedangkan UN yang adil itu, sebenarnya kelanjutan dari asas jujur itu sendiri. Apabila semua siswa melakukan dan melaksanakan asas jujur tersebut, pastinya asas adil akan terlaksana dengan sendirinya.

Itu menurut teori. Prakteknya?

Prakteknya mengacu kembali kepada keegoisan pihak-pihak tertentu. Mereka mengutamakan kepentingan-kepentingan pribadi dengan mengesampingkan bahkan menghilangkan kepentingan penyelenggara UN. Memang akan sangat sulit apabila siswa harus mengulang tahun depan untuk menghadapi UN lagi. Berbagai alasan akan timbul seiring keberhasilan yang tertunda itu menghampiri siswa. Malu, gengsi, minder dan berbagai alasan lain akan menyebabkan semangat hidup siswa tersebut down.

Jangan menyerah! Terus semangat! Teruslah berusaha!

Itu tidak lebih dari teori pembangkit semangat yang sangat sulit untuk diterapkan. Butuh proses panjang apabila telah terlanjur gagal dalam kegiatan tahunan tersebut. UN adalah satu-satunya jalan untuk dapat keluar dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, mungkin suatu saat nanti, salah satu syarat untuk menikahi anak gadis orang lain adalah dapat menunjukkan ijazah SMA. Bisa jadi itu terjadi. Anak istri harus diberi makan. Membeli makanan pakai uang. Uang didapat lewat kerja. Kerja butuh ijazah. Dan ijazah didapat setelah lulus UN. Memang, ada banyak kerja yang tidak memerlukan ijazah SMA. Tapi, kerja yang dicari orang sekarang adalah kerja dengan ijazah. Bukan kerja dengan otot. Dan pastinya siswa akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan ijazah tersebut. Memang, hal itu tidak dapat dipungkiri dan bisa dikatakan BENAR. Karena, tanpa ijazah SMA, siswa tidak ada apa-apanya. Karena alasan demikianlah asas JURDIL tidak terlaksana dengan sepenuhnya. Hal itulah yang menyebabkan pihak-pihak pemikir kritis mengumandangkan bahwa UN harus dihentikan.

Namun, Indonesia adalah negara hukum. Pastinya yang dilakukan oleh pemerintah, ada dasar hukumnya. Dasar hukum penyelenggaraan UN yaitu tertera pada UU RI Nomor 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas.

Tidaklah mudah pihak-pihak yang kuliah sampai ke luar negeri (baca:pemerintah) merumuskan dasar hukum tentang UN tersebut. Selukbeluk UN tentunya sudah dipikirkan matang-matang sampai urat nadi terlihat di leher demi keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Mereka telah memutar otak untuk memikirkan bagaimana jalan keluar untuk menemukan bibit-bibit unggul nan berkualitas, yang akan disiapkan untuk menjadi sumber daya manusia Indonesia yang berkompeten.

Namun, minoritas dari pihak yang diperintah (baca:siswa) mengorasikan untuk ‘menata ulang’ sistem UN yang sekarang, dalam pelaksanaannya jauh dari harapan. Menata ulang dalam artian, pelaksanaan UN hanya menelan banyak biaya tanpa ada hasil yang jelas. Atau dalam bahasa lain UN harus dihentikan. Kecurangan-kecurangan pelaksanaan UN terjadi dibanyak daerah. Alasan itu dapat dijadikan renungan bagi pemerintah, bagaimana cara melaksanakan UN tanpa adanya asas JURDIL invers. Mungkin, pemerintah dapat mendengarkan ‘kicauan-kicauan’ yang berbunyi ‘hentikan UN’ tersebut.

Nah, apabila memang UN harus dihentikan, maka sistem pendidikan Indonesia harus mutlak diubah. Berpikir logis saja. Kalau mau masuk SMP, harus lulus UN SD. Mau masuk SMA, harus lulus UN SMP. Mau kuliah, harus lulus UN SMA.

Jadi, tidaklah mudah mengubah sistem pendidikan Indonesia, dengan menghentikan UN dari dunia pendidikan Indonesia.

Intinya, pelaksanaan UN di Indonesia dapat dikatakan tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Kecurangan-kecurangan UN menandakan budaya JURDIL bangsa Indonesia belum berkembang. Namun, sekali lagi, salah satu pihak tidak dapat mengutamakan kepentingan sendiri. Tidak dapat langsung menentukkan langkah dengan menghentikan UN. Perlu peninjauan yang lebih bahkan sangat rinci untuk mengambil keputusan tersebut. Karena, ini adalah masalah nasional, bukan masalah perseorangan.

Sebagai siswa yang dalam waktu yang tidak lama lagi akan menghadapi UN, buanglah jauh-jauh pikiran dan pendapat kita bahwa UN harus dihentikan. Kewajiban siswa sekarang adalah belajar. Tidak perlu memikirkan hal-hal tersebut. Biarlah orang yang diatas yang menentukan dan mengambil keputusan tersebut. Dan sekarang, semuanya harus berusaha bagaimana lulus UN dengan persiapan ala pemenang sejati. Otak adalah aset, yang dikerahkan semaksimal mungkin untuk dapat melewati UN yang berat tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline