Lihat ke Halaman Asli

Nuklir itu Seni, Gak Berbahaya Kok

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya pernah duduk dipinggiran sasana silat. Seorang bersabuk kuning berdiri sendirian, lengkap dengan sebuah tongkat dan sebuah golok tergenggam. Dia mulai beraksi bergerak. Beberapa menit sebelum saya bertanya ke teman, saya bingung melihat si pemakai sabuk itu. Apa yang hendak dia lakukan, toh lawannya tidak ada. Dan saya malah makin bingung saat teman berkata bahwa si pemakai sabuk tengah menampilkan kesenian silat. Lantas saya harus bisa mengiyakan keterangan teman tadi. Karena seni memang universal dan relatif, tergantung siapa yang memandang.

Dari hal yang berbahaya macam tongkat dan golok pun bisa menghasilkan sebuah kesenian. Dan sekarang saya memahami tentang satu seni yang sama sekali tidak dianggap sebagai seni.

Pikiran manusia begitu universal dan mendalam. Manusia bisa menemukan kesenian didalam suatu disiplin ilmu yang terkungkung atas batasan-batasan ilmiah kaku yang sangat tidak berseni. Pikiran bisa menembus sekat antara sesuatu yang pasti dan hal-hal relatif dan menemukan keindahan terselip disana. Kesanggupan akal manusia untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi karena kejeniusan otak adalah implementasi seni yang mutlak adanya. Manusia sendiri sanggup untuk menemukan hal-hal kecil, bahkan sekecil atom yang tidak bisa dibagi lagi, untuk dijadikan objek pelampiasan kesenian. Dan jangan pernah berpikir bahwa bidang-bidang ilmiah macam fisika kimia matematika atau ilmu eksak lainnya bukan merupakan suatu kesenian. Mereka bukan lagi hanya dipandang sebagai sebuah ilmu pasti, tapi telah berekspan menjadi kesenian dengan nilai kebermanfaatan tiada tara. Apalagi kalau berbicara tentang nuklir. Ha??

Menyatakan nuklir sebagai ilmu kesenian bagaikan mencari penyangga langit : sangat sulit. Kadar kesamaannya bisa dibandingkan dengan menyatakan bumi itu bulat oleh pihak Gereja tatkala Galileo berpostulat, mungkin. Seni itu berupa keindahan, dan apakah dari sebuah reaksi nuklir yang rumit dan memusingkan, keindahan itu ada? Apakah ilmu yang selama ini hanya dipercayai benar dan mata belum pernah melihat rupa zarah radiasi menyimpan suatu pemandangan sastra?Bagaimana bisa sebuah bom yang meluluhlantakan tanah Jepang dan membuat Chernobyl mati dipandang sebagai sebuah kesenian yang indah? Nuklir sendiri masih menjadi suatu yang ambigu. Kesyubhatan itu merujukke eksistensi nuklir : apakah masuk ke kategori makhluk hidup atau mati. Hal ini nantinya akan berkaitan pada dua hal : nuklir itu “berseni” atau “disenikan” oleh manusia. Oleh manusia, jelas, karena manusia terbentuk dari akal yang bisa berorientasi kepada keindahan. Ndak mungkin hewan atau tumbuhan, atau mungkin malaikat yang berseni lewat nuklir. Hal terbaik yang bisa diambil, dan juga akan mendukung keberadaan manusia sebagai makhluk berakal dan jenius adalah : nuklir itu makhluk mati dan dia “disenikan” oleh manusia. Dan melalui tangan manusia yang digerakkan dari akal pikiran dan kebaikan hati, nuklir adalah sebuah seni.

Nuklir belum dipandang sebagai suatu kesenian yang “eksak”. Seni lebih condong ke arah keindahan sosial humaniora yang relatif-relatif. Seni patung, seni lukis, seni tarik suara dan semua seni lain berkomposisikan keindahan. Meski setiap kepala manusia berbeda-beda menyikapi suatu perkara, nampaknya itu tidak berlaku jika pembunuhan melalui bom nuklir adalah sebuah kesenian. Dan jelas, nuklir tidak melambangkan suatu keindahan apapun. Nuklir adalah sebuah kemelaratan, ketakutan, kematian, mutan, ambisi jahat, nasionalisme negatif yang berlebihan, peperangan dingin maupun panas serta kedigdayaan negeri.Stigma itu lahir di negara dengan tingkat kesenian “eksak” yang masih baru mau tumbuh : macam Indonesia. Seni itu memunculkan kedamaian bagi penikmatnya, bukan melumpuhkan syaraf otak dan membuat kebutuhan pokok menjadi racun yang berakibat fatal jika ditelan.

Namun, marilah menengok ke Perancis atau ndak ke Amerika. Sisi “seni” dari nuklir begitu padu dengan kehidupan masyarakatnya. Mereka bisa berdampingan hidup dengan bangunan reaktor yang menyimpan risk hebat.

Ya, ternyata nuklir adalah suatu kesenian yang dibalut oleh rumitnya persamaan matematika, kusutnya rumus-rumus fisika, ruwetnya ilmu-ilmu kimia serta pastinya hukum-hukum alam. Keindahan nuklir hadir dari tumbukan zarah radiasi yang begitu kompleks. Jika kesenian lain bisa atau mungkin muncul dari hal sederhana, seperti keadaan alam, pemandangan pegunungan, nyanyian burung, petikan gitar, namun nuklir berangkat dari sebuah hal yang maharumit : atom, dan keluar sebagai seni. Atom, kata Bohr, dibentuk oleh elektron-elektron yang senantiasa mengelilingi inti. Mereka berada dikulit yang tepat bergerak dilintasan tertentu dan tak akan berubah jika tak ada pengaruh yang datang. Elektron “penurut” itu tidak hanya sebatas bergerak, namun juga berenergi, bermassa, dan bermuatan. Inti atom dipenuhi oleh dua kawan elektron, yaitu proton dan neutron. Tiga sekawan ini bergabung dengan tiga sekawan lainnya yang bertipe sama dan membentuk suatu unsur yang lebih besar nan kompleks. Ada besi, emas, hidrogen, oksigen, aluminium, dan ada uranium. Masuk ke dalam ilmu nuklir lagi, maka dikenal istilah reaksi fisi : tumbukan dua partikel dari zat radioaktif yang menghasilkan partikel yang berbeda dari asalnya. Partikel-partikel itu tidak sekedar menumbuk, namun juga menyajikan suatu kesenian yang dibentuk oleh berbagai komponen : hukum kekekalan energi, kekekalan muatan partikel, momentum dan jumlah nukleon dan dan dan dan.

“Kesenian eksak” ini berlanjut ke hal yang tak kasat mata bagai angin : radiasi. Makhluk mati satu ini memang diciptakan untuk menjadi karya seni seniman-seniman eksak. Mulai dari Rutherford, Bohr, Becquerel, hingga Curie. Belum lagi Einsten, sang pujangga Fisika yang diberitakan sebagai otak pelumpuhan Hiroshima Nagasaki. Juga Rontgen, yang namanya sekarang dipakai sebagai penghormatan atas instrumen yang sukses dia buat untuk melihat anatomi tubuh tanpa harus membedahnya. Nuklir yang identik dengan radiasi bukan sekedar ilmu kaku, terkungkung oleh batasan-batasan ilmiah yang sering membuat rumit otak. Namun, nuklir sama seperti tarian, yang memuaskan para penikmat tarian. Nuklir sama seperti lukisan, yang memuaskan para kurator museum internasional. Nuklir sama seperti musik, yang memuaskan telinga para pecinta Iwan dan Metallica. Bahkan nuklir lebih kompleks lagi. Dia lebih dari memuaskan, dia memenuhi kebutuhan walau sering ditolak keberadaan.

Jadi, kesenian eksak itu bernamakan nuklir. Nuklir itu seni, tidak berbahaya kok.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline