Lihat ke Halaman Asli

Rio Carlos Evan Giri

Digital marketing professional with extensive experience in managing marketing campaigns, content strategies, and navigating the digital ecosystem.

PHK: Teriakan Pekerja Startup di Media Daring

Diperbarui: 19 Desember 2024   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

yohanes budiyanto - https://www.flickr.com/photos/joe-joe/2303992129/

Kita sudah memasuki kuartal keempat (Q4) tahun 2024, sebuah momen penting yang menjadi titik balik dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dunia kerja. Pemilihan presiden sudah berlalu, dan kabinet baru telah terpilih dan mulai menjalankan tugasnya. Namun, meskipun perubahan politik ini membawa angin segar di banyak sektor, nasib pekerja, terutama mereka yang berada di industri startup, masih jauh dari kata stabil.

Pekerja startup di Indonesia, yang selama beberapa tahun terakhir menjadi simbol dinamisme dan inovasi, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Fenomena layoff atau pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda banyak perusahaan rintisan (startup) membuat banyak orang terpuruk. Tidak sedikit pekerja yang mengeluhkan sulitnya mencari lapangan pekerjaan baru. Bahkan, ada juga yang meluapkan rasa frustasi mereka di berbagai platform daring, berbagi kisah tentang pembayaran pesangon yang belum juga dilunasi dan gaji yang tak kunjung diterima. Di tengah ketidakpastian ini, banyak yang bertanya-tanya, kapan masalah ini akan berakhir?

Media Daring Sebagai Sarana Keluh Kesah Pekerja Startup

Di era digital yang serba terbuka ini, media sosial dan platform daring menjadi saluran utama bagi pekerja untuk menyuarakan keluhan mereka. Banyak pekerja startup yang merasa terjebak dalam situasi yang tak kunjung membaik, dan mereka mencari pelampiasan di ruang virtual. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah topik populer di media sosial, seperti Twitter, LinkedIn, hingga forum-forum anonim, dipenuhi dengan kisah-kisah pekerja yang mengeluhkan kebijakan PHK masal, pesangon yang belum dibayar, hingga cerita tentang gaji yang tertunda.

Kisah-kisah ini tidak hanya datang dari satu sektor saja, namun juga mencakup berbagai industri dalam ekosistem startup, mulai dari teknologi, e-commerce, hingga fintech. Pekerja yang dulu bersemangat dengan idealisme "startup" yang mengedepankan fleksibilitas, inovasi, dan peluang besar kini mulai merasakan dampak dari keputusan-keputusan yang diambil oleh perusahaan. Banyak yang merasa mereka telah dibuang begitu saja, tanpa perlindungan yang memadai dan tanpa adanya jaminan akan masa depan yang cerah.

Lesunya Ekonomi Global: Efek Domino bagi Perusahaan Startup

Di balik fenomena ini, tentu ada faktor eksternal yang mempengaruhi. Ekonomi global yang sedang lesu berperan besar dalam memperburuk situasi. Penurunan daya beli masyarakat, inflasi yang melambung, serta ketidakpastian ekonomi yang terjadi di berbagai belahan dunia, membuat banyak perusahaan, termasuk startup, terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran.

Banyak perusahaan startup yang sebelumnya bergantung pada pendanaan eksternal mulai mengalami kesulitan untuk mendapatkan investasi baru. Kondisi ini, yang sering disebut dengan fase "funding winter", memaksa banyak startup untuk berhemat, mengurangi biaya, bahkan memangkas jumlah karyawan. Perusahaan-perusahaan yang dulu berfokus pada ekspansi besar dan pembentukan brand yang kuat kini mulai mengubah strategi mereka. Mereka lebih memilih untuk mengutamakan pertumbuhan organik dan profitabilitas, bukan lagi mengejar target ekspansi yang ambisius. Hal ini menciptakan ketidakpastian di kalangan pekerja, yang sebelumnya melihat startup sebagai tempat berkembang yang penuh peluang.

Anti-Startup: Kembali ke Korporasi atau Beralih ke Sektor yang Lebih Stabil?

Situasi yang semakin tidak pasti ini memunculkan istilah "anti-startup"---sebuah pandangan yang mengutamakan pertumbuhan yang lebih lambat namun stabil, dibandingkan dengan model bisnis startup yang berfokus pada ekspansi cepat dan pembakaran uang dalam jumlah besar. Banyak pekerja, terutama mereka yang sudah merasakan kerasnya persaingan dan ketidakstabilan di dunia startup, mulai melirik sektor korporasi atau perusahaan besar yang lebih mapan. Meskipun perusahaan-perusahaan besar ini mungkin lebih konservatif dan tradisional dalam cara mereka bekerja, mereka menawarkan kestabilan yang sulit diperoleh di dunia startup.

Fenomena ini juga menciptakan pergeseran dalam pola pikir para pekerja. Mereka yang dulu memiliki idealisme untuk bekerja di startup dengan impian meraih kesuksesan besar, kini mulai berpikir dua kali. Mereka lebih memilih untuk beralih ke perusahaan-perusahaan konglomerasi yang dianggap lebih stabil dan aman. Meskipun mungkin tidak ada lagi "kebebasan" yang mereka nikmati di startup, setidaknya mereka merasa lebih aman dari ancaman PHK mendadak atau ketidakpastian pendapatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline