Banyaknya lembaga survei yang mengeluarkan hasil survei tentang elektabilitas partai, tetapi sangat jarang yang bisa mendekati kenyataan alias palah sering meleset. Apakah yang sebenarnya jadi penyebab ? Lalu apakah lembaga survei lantas pantas untuk dipertanyakan keilmuanya ? Maka dari itu saya akan membahasnya.
Pada survei partai yang disurvei adalah partai, tanpa mensurvei calon kandidat wakil rakyat yang diusung. Karena jika seseoang menyukai partai A belum tentu akan memilih DPR/DPRD dari partai A. Banyak variabel lain yang mempengaruhi bukan hanya partai pengusung semata. Hal ini ditambah praktik politik "Kontrak" sering kali mewarnai pemilihan umum terutama pada pemilihan DPR/DPRD.
Banyak dari calon DPR/DPRD telah memberi bantuan uang ataupun lainnya dan melakukan perjanjian dengan masyarakat disuatu daerah melalui koodinasi tokoh setempat agar memilih dirinya. Perjanjian tidak diikat dengan surat apapun melainkan unsur saling percaya saja, diawal diberi bantuan dan jika terpilih akan mendapat tambahan begitulah adanya. Memang beresiko tapi sudah jadi rahasia umum, bila ada daerah yang ingkar maka tidak lagi dipercaya pada pesta demokrasi selanjutnya.
Tindakan tersebut biasanya dilakukan "sebelum ada penetapan" calon peserta pemilu. Hal ini dilakukan untuk menghindari dari pada tuduhan Politik Uang. Menghindari pidana dari Pasal 523 Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dengan cara Penyelundupan Hukum. Dengan cara "LEGAL" Tidak Melanggar Hukum ini maka jangan heran bila ada politikus bercitra buruk masih saja terpilih.
Apalagi kini pemilihan presiden dan legeslatif "DPR/DPRD dan DPD" dilakukan secara bersamaan. Tail effect dari calon presiden menjadi tidak sekuat dulu lagi karena hal ini. Akhibatnya biaya politik makin mahal, dan partai yang tidak mempunyai calon DPR/DPRD berkantong tebal yang niat memenangkan pemilihan akan meredup meski elektabilitas tinggi. Karena para pemilih telah terikat pada calon yang banyak uang. Untungnya masih ada sebagian kecil masyarakat terutama wilayah elit yang idealis, ditambah tidak selalu calon DPR dan DPRD sepaket melakukan hal ini.
Karena masih ada masyarakat idealis serta tidak selalu sepaket maka tail effect masihlah ada, contoh anggota DPRD melakukan tapi anggota DPR RI tidak maka pemilih akan memilih anggota DPR RI sesuai partai yang mereka sukai. Melesetnya survei juga ditambah oleh adanya oknum lembaga survei yang melakukan survei pesanan sehingga kredibilitas dipertanyakan. Inilah jawaban kenapa Survei Elektabilitas Partai sering kali meleset !
Tulisan ini adalah hasil pengalaman dan pantauan yang saya dapatkan sewaktu menjadi pengamat ataupun timses pada pemilu dan pilkada 2014 hingga 2019. Pada tahun 2014 saya ikut tim yang akhirnya mengantarkan sesorang berkuasa tanpa bayaran. Di 2018 saya ikut Tim Sudirman said sebagai Profesional namun sayang gagal karena kekurangan beberapa hal untuk memenangkan Pilkada. Untuk pemilu 2019 saya hanya menjadi pengamat alias pemantau semata. Dari pengalaman dan pantauan inilah saya dapat menyimpulkan dan menjawab kenapa Survei Elektabilitas Partai sering meleset alias Kurang Tepat !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H