Encik Ros sudah selesai sholat. Ia berjalan keluar namun masih dengan memakai mukena memanggil Abigail, “borreg..ayo makan yuuk!” sahutnya sambil membuka mukena dan melipatnya. Jalannya tertatih-tatih menuju meja makan.
“apaan borreg encik..maksudku umi?” Tanya Abigail
“sudah.. panggil encik saja kalau susah..memang orang-orang sudah terbiasa dengan panggilan itu” sahut Encik Ros.
“Borreg itu maksudnya boru Regar..di kota ini orang terbiasa memanggil marga..nama paling buat anak-anak” sambung encik Ros. Ia menghidangkan sepiring lontong sayur dengan mie gomak kepada Abigail.
“cicipin dulu masakan encik” katanya sambil duduk di kursi dan berhadapan dengan Abigail.
Abigail mencicipi spaghetti ala Batak itu, ia masih enggak habis pikir, Encik menyuruhnya untuk mencicipi sepiring mie lengkap dengan lontong dan kuahnya. “ini mah porsi buat makan siang dan malam” pikirnya.
“kenapa? Kebanyakan? Biasanya orang Jakarta kalau ke kampung itu bawaannya pasti lapar..makanya encik kasih banyak” kata Encik Ros. Ia tertawa menatap Abigail yang menyantap lontong sayur khas Medan itu.
Abigail melirik jam dipergelangan tangannya. “masih jam tiga..habis magrib saja kau pulang!” sahut encik Ros. Sambil menemani Abigail makan encik Ros melanjutkan ceritanya.
**
“hati-hati encik!” sahut Tamara. Jalanan di kota ini memang harus hati-hati karena masih banyak ternak yang berkeliaran yang dilepas oleh para pemiliknya.
“itu rumah kami encik” sambung Tamara. Encik Ros melihat rumah berbentuk panggung itu dengan bahan utama bangunan berupa kayu. ia mendengar dari kejauhan suara seruling bambu yang nadanya seperti lagu yang dinyanyiin Tamara di kelas. “Itu siapa yang niup seruling?”
“ooh itu bang Burju..ia kalau sedang menjaga ternak biasanya main seruling..dan kalau sore aku diiringin abang bernyanyi” jawab Tamara. Diwajahnya yang polos mengembang senyuman manis. Tamara berlari dan memasuki rumah serta memanggil ibunya. “mama..ada encik guru!”
Encik Ros melihat sekeliling areal rumah itu, masih terdapat banyak pohon bambu dan ada pohon mangga besar. Ia memperhatikan di atas dahan pohon itu Burju sedang memainkan seruling dengan fokus sekali, jarinya bergantian bergerak-gerak membuka dan menutup lobang yang ada pada alat musik dari bambu itu. Hingga seekor ayam betina berkotek merusak suasana. Burju terperanjat dan ia melihat encik guru di bawah pohon. Burju terlihat gugup dan berusaha turun. Ia menggaruk kepalanya.mengaitkan kesepuluh jarinya sampai terdengar bunyi ‘tek’. Wajahnya terlihat berseri dan malu-malu melihat encik Ros yang sangat ia hormati itu.
“teruskan!” sahut encik ros sambil memperagakan tanganya menirukan gerakan pemain seruling.
Burju semakin salah tingkah ia memegang sarung pedang yang bergantung di samping pahanya. Pedang itu selalu dia bawa jika sedang pergi mangaragat tuak atau mengambil air enau.
“itu mak encik guru!” sahut Tamara.
“horas encik..ada apa gerangan? apa anggiat nakal disekolah?” Sahut mama Burju dengan pertanyaan beruntun.
“enggak kok nai Burju..aku cuma penasaran kenapa Burju gak sekolah” jawab encik Ros. Ia memanggil nai Burju karena Burju adalah anak pertama dalam keluarga ini. Tujuh tahun ia bersosialisasi di Muara jadi ia paham betul kalau wanita yang sudah menikah terlebih sudah punya anak pantang dipanggil nama gadisnya.
“ooh masuk dulu encik..mau minum apa?”
“airputih juga gak apa-apa nai burju”
Encik Ros masuk ke dalam rumah ia melihat di dinding selembar ulos dibentangkan di dinding ruang tamu. Ia baca tulisan di ulos tersebut, ‘Debata Mulajadi Nabolon’.
“ayo diminum encik..air itu sumbernya dari mata air dekat sumur sana..si burju yang ngambil..soalnya kalau pakai air danau si Tamara enggak mau minum” sahut nai Burju.
Tenang saja!..halal kok..walaupun kami Batak gak pernah kami makan babi..karena aku penganut Parmalim” sambung nai Burju ceplas-ceplos. Inilah kebiasaan orang Batak, mereka memang sangat terbuka dalam menyampaikan perasaannya.
“iya nai Burjuaku minum kok.. kenapa hari ini Burju gak sekolah?” Tanya Encik Ros. Ia juga sudah mulai terpengaruh dengan kebiasaan orang Batak yang tak perlu banyak basa-basi.