Lihat ke Halaman Asli

Baoa na Burju #9# Pengadilan Memutuskan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14132805301910365108

[caption id="attachment_328992" align="aligncenter" width="396" caption="diambil dari Zimbio.com"][/caption]

Abigail duduk di di sebelah kiri dari meja majelis hakim. Sementara di deretan kursi sebelah kanan meja majelis hakim terdapat dua pengacara dari Tamara Arisma, yaitu Pak Monang dan assistennya. Ketua majelis hakim membuka sidang dan mulai menanyakan identitas para pihak dimulai dari pengacara penggugat dan selanjutnya pengacara tergugat.

“Saudara-saudara sekalian, sebelum perkara ini akan kami periksa, saya akan mengajak saudara-saudara untuk merenungkan kembali makna dari adanya kasus ini. Seorang putra dan putri yang ingin merawat ibu kandungnya, menurut saya sebaiknya permasalahan ini dapat diselesaikan dengan cara baik-baik atau dengan jalan damai saja. Bagaimana pihak penggugat?” Tanya ketua hakim memulai sidang.

“Bapak hakim yang mulia, sebenarnya klien saya sudah berusaha menjadi boru siappudan na burju, berusaha mengalah dan memaafkan namun upaya ini ternyata tidak ditanggapi secara baik oleh saudara tergugat. Jadi klien saya tetap tidak mampu lagi selain menyerahkan kasus ini lewat jalur hukum” jawab pak Monang.

“Bagaimana saudara pengacara tergugat?” Tanya ketua hakim.

“Bapak hakim yang saya hormati, saya sependapat dengan Bapak hakim, sebenarnya saya kaget dan sangat saya sesalkan kasus ini di bawa ke meja hijau. Bagaimanapun pasti ada alasan kenapa ibu dari saudari Tamara, memilih untuk tetap tinggal di bersama abangnya saudara Burju di desa” jawab Abigail

“keberatan yang mulia!! Bagaimana mungkin ia bisa mengatakan itu jika ia belum pernah bertemu dengan saudara Burju dan ibunya, buktinya ia saja sampai saat ini belum membawa saudara Burju ke ruang sidang. Tolong coba yang mulia tanyakan apakah ada surat kuasa dari saudara Burju kepada pengacara parsiajar on” sahut suara pak Monang dengan lantang dan jelas.

Suasana menjadi riuh rendah. Semua orang berbisik pelan.

Hakim Ketua : “Tenang, hadirin dimohon tenang. Sidang tidak akan dilanjutkan jika para hadirin belum tenang!..saudari pengacara saudara Burju silahkan dilanjutkan!”

Abigail menghela nafasnya lalu mulai berkata : “ada istilah mengatakan seekor  semut terlihat di pelipis mata orang lain, saya akan membawa Saudara Burju dan ibunya serta beberapa saksi jika ia juga membawa pelapor atau penggugat yaitu saudari Tamara Arisma ke dalam persidangan ini. Karena tidak mungkin seorang putri tega memisahkan anak dari ibunya apalagi di dalam masyarakat kita ada istilah bahwa ‘anak hamatean boru hangoluan’ yang artinya jika orangtua meninggal biasanya harus diberangkatkan dari rumah putra dan upacara kematian juga dilakukan oleh putranya”

“keberatan yang mulia. dia ini Batak gagal masih bau kencur tahu apa dia soal adat?, ia sepertinya lupa kalau kita sedang membahas hukum perdata bukan hukum adat” teriak pak Monang memotong kalimat Abigail

“dengan demikian anda juga gunakan bahasa pada tempatnya!” sahut Abigail. Suaranya santai namun sangat jelas. Sebenarnya ia kesal karena disebut pengacara parsiajar atau pengacara training oleh pak Monang.

Para hadirin mulai gusar, Seseorang dengan seorang lainnyamulai berbisik. Suasana mendadak riuh. Para warga yang satu desa dengan penggugat dan tergugat ikut bediri dan menunjuk-nunjuk jajaran hakim yang mulia.

Hakim Ketua : “Tenang, hadirin dimohon tenang!” sambil mengetukkan palu sesekali.

Hakim ketua : “Pengadilan memutuskan meminta kepada pihak pelapor atau penggugat agar menghadirkan saudari Tamara Arisma di dalam pengadilan”

“keberatan yang mulia. Kami akan menghadirkan saudari Tamara dengan catatan jika saudara Burju dan ibunya juga hadir. dan jika sdr Burju tidak hadir  mohon agar ibunya segera diproses dan diberikan kepada klient kami” sahut Pak Monang

“keberatan yang mulia. saya akan hadirkan sdr Burju dan saksi-saksinya. sedangkan ibu dari sdr Burju belum dapat kami hadirkan karena jarak rumah mereka ke pengadilan dan juga situasi dan kondisi ibunya yang sudah renta” sahut Abigail

Suasana pengadilan mendadak hening, Suasana juga berubah menjadi mencekam.Bapak ketua hakim menghela nafas panjang. “pengadilan memutuskan pada hari ini bahwa pihak pengacara dari sdri Tamara dan sdr Burju harus hadir di dalam persidangan dan jika salah satu pihak tidak hadir di pengadilan hari senin depan, maka pengadilan tidak segan-segan untuk memproses dan segera mengeksekusi ibu daripadasdri Tamara..sidang hari ini selesai.” palu diketuk.

**

Abigail keluar dari hotelnya,ia membawa tas ranselnya dan menunggu bis yang lewat di depat hotelnya. “bagaimanapun aku harus ke rumah bang Burju” Gumamnya. Tekadnya sudah bulat akan tetap mengikuti Burju walaupun harus masuk hutan. sebab ia  hanya punya waktu empat hari untuk mengajak Burju ke ruang sidang.

Tiba dipelabuhan gadis cantik ini mendaki bukit menuju rumah Burju. Ia memperhatikan rumah itu dari kejauhan. Ia sedikit kaget ketika dibawah rumah berbentuk panggung itu ada sesuatu yang bergerak mengendap-endap menuju tangga rumah. ia melihat seorang wanita dari belakang rumah menaruh bungkusan kain yang didalamnya sepertinya bekal makanan di tangga rumah tersebut. Abigail berlari mengejar wanita itu. “heeii kau...berhenti!” teriaknya namun wanita yang menutup  wajahnya itu terus berlari tanpa menoleh.

“hei kau siapa?” teriak Abigail berusaha menggapai celana panjang wanita tersebut.

“Noerima..berhenti!” teriak Abigail

wanita itu akhirnya berhenti. Namun ia masih Menutup wajahnya dengan tangan kirinya hingga yang terlihat hanya matanya. tangan kanannya berkacak pinggang. “aku bukan Noerima..Noerima..Noerima lagi! enggak ada nama lainkah di kampung ini selain nama itu?” sahut wanita itu ketus. Sorot matanya menunjukkan ketidaksukaannya dengan sebutan Noerima itu.

“anda siapa?” tanya Abigail.

“bukan urusan mu” sahut wanita itu ketus sambil memegang tali panjang yang terikat di pohon mangga itu lalu turun ke bawah  bukit dan berlari. Tampak wajahnya sekilas karena kain yang menutup mukanya jatuh di dekat pohon mangga.

Abigail memungut kain itu lalu ia kembali mengarahkan pandang ke rumah Burju. Ia melihat pintu terbuka perlahan dan wajah brewokan itu muncul dari balik pintu. Pria itu menatap sekelilingnya lalu berjongkok hendak mengambil bungkusan itu.

“bang Burju tunggu!” teriak  Abigail.

Bersambung

Berhubung kehabisan ide, jadi tunggu episode selanjutnya yah!! :)

Note :

Boru siappudan na burju = putri bungsu yang baik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline