Lihat ke Halaman Asli

Rinto F. Simorangkir

Seorang Pendidik dan sudah Magister S2 dari Kota Yogya, kini berharap lanjut sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Tradisi Balimo-limo yang Tak Terlupakan di Pesisir Panti Barat Sumatera Utara

Diperbarui: 10 Mei 2019   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Daftarbudayaindo.web.id

Kenangan di masa kecil tentang hal ini selalu sulit untuk bisa dilupakan. Yakni sehari sebelum menjelang masa puasa di bulan Ramadhan. Pasalnya kegiatan ini, menjadi unik bahkan oleh banyak media-media-pun selalu meliput dari tahun ke tahunnya tentang kebudayaan orang pesisir di pantai Barat Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Sibolga.

Jika mengingat masa itu, meskipun sekarang tidak berada disana, pengen ikutan jika seandainya bisa berada disana dan waktunya tepat. Seolah-olah menjadi kenangan manis yang tersimpan rapi di memori ini.

Tradisi Balimo-limo di dalam kamus sewaktu aku masih kecil awalnya berpikir itu adalah berpergian sebanyak lima-lima orang. Karena setiap kali orang mengajak ayo balimo-limo, mereka kerap pergi dengan sejumlah angka itu.  Dimana arti 'limo' itu sendiri dalam bahasa pesisir adalah angka lima.

Tapi akhirnya sempat komplik dalam batinku bahkan sempat protes kepada satu grup orang dewasa yang berpergian lebih dari lima orang. "Itu sudah berapa orang, jumlahnyo bukan lagi limo orang?" Tapi salah satu dari mereka-pun menjawab bahwa balimo-limo itu bukan seperti yang aku maksudkan.

Dia menjelaskan bahwa limo itu adalah sebotol sari air pandan ke hadapanku. Dan akhirnya sangking penasarannya, akupun mengecek kepada teman-temanku yang masih tinggal di komplek perumahan. Mencoba melihat aksi dari para teman-temanku dan para ibu-ibu menyiapkan air limau yang terbuat dari sari daun pandan.  

Bagaimana mereka menggiling daun pandan tersebut, yang tentunya bukan pada gilingan cabe. Tapi mencari batu semen yang lumayan bersih untuk menggiling daun pandan tersebut. Sebab jika digiling di batu gilingan cabe, yang ada rambutnya bisa kepedihan karena air limaunya pedas.

Dan pernah ada satu kejadian, salah satu temanku membuatu dua versi air limaunya. Satu yang digiling pada gilingan cabe, dan satu yang digiling batu semen. Menjebak atau mengerjai teman-teman yang kebetulan tidak mempersiapkan air limaunya. Bagaimana akhirnya dia pulang malah menggaruk-garuk kepala, karena dikerjai. Kami anggap itu sebuah kelucuan semata, karena memang aksinya lucu. Tapi akhirnya mandi lagi, sehingga akhirnya kami jadi lebih lama pulang ke rumah.

Baru dewasa ini, akhirnya bisa mengerti dan paham mengapa Tradisi Balimo-limo tersebut tetap dilakukan dan tetap dilestarikan hingga sekarang. Yakni supaya bisa menyucikan diri dengan air tersebut. Supaya bisa lebih khusuk untuk mengikuti rangkaian puasa demi puasa setiap harinya.

Uniknya lagi para supir-supir angkot-pun bisa panen penumpang karena membludaknya orang yang ingin berpergian rame-rame ke tempat pemandian air yang ada. Sebab daerah kami lumayan banyak destinasi sungai-sungai yang bisa dijadikan untuk mandi-mandi pakai air limau.  Yakni Sungai Sihaporas di Pandan, Sungai aek Sarudik di Sibolga, Sungai Aek Sirahar di Barus, Air Terjun Sampuran Dolok Bunga di Sirandorung,  Air Terjun Sampuran Sirantabe di Manduamas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline