Ada banyak sejumlah deklarasi dan dukungan masing-masing kepala daerah dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia, yang jelas-jelas menyatakan dukungannya kepada pasangan calon urut nomor 01, Jokowi-Maruf.
Dan dukungan tersebut tidak hanya datang dari kepala daerah yang partai pendukungnya bukan partai pendukung Jokowi-Maruf. Artinya diluar koalisi partai pendukung Jokowi-Maruf. Seperti kepala daerah Riau baik provinsi maupun kabupaten dan kota, Kepala Daerah Sumatera Selatan, Kepala Daerah di Bengkulu, Kepala Daerah Sulawesi Utara, Kepala daerah Maluku Utara, Kepala Daerah di Kalimantan Selatan, Kepala Daerah yang ada di Papua, dan lain-lain.
Yang jelas-jelas para kepala derah tersebut menyatakan deklarasi dukungan mereka ke Jokowi-Maruf. Dan satu hal yang mereka lakukan yaitu tidak mengadakan acara deklarasi dan dukungan tersebut pada masa-masa aktif jam kantor atau kedinasan. Artinya jadwal tersebut jelas, diluar agenda operasional keseharian seorang kepala daerah, seperti mengambil waktu di weekend, Sabtu dan Minggu.
Tapi beda dengan deklarasi dukungan yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Seperti yang dilansir oleh kompas.com (23/2/2019), sesuai dengan laporan yang masuk dari ke Bawaslu dan Bawaslu sendiri telah memeriksa 38 orang yang terlibat dalam deklarasi pemenangan Jokowi-Ma'ruf di Hotel Alila, Solo, 26 Januari 2019, itu. Ke-38 orang tersebut meliputi dua pelapor, pihak hotel, dan 35 kepala daerah.
Hasilnya, Bawaslu menemukan pernyataan dalam rekaman video bahwa deklarasi Ganjar dan puluhan kepala daerah itu masih menyebut jabatan para kepala daerah yang ikut serta. Hal itu tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda.
"Kutipan sebagaimana dalam video rekaman acara, 'Ya sekarang saya dengan para kepala daerah, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota se-Jawa Tengah yang mendukung Pak Jokowi-Amin Ma'ruf, hari ini kita sepakat untuk mendukung Pak Jokowi-Amin Ma'ruf', poin intinya di situ," ujar Rofiuddin, Koordinator Divisi Humas dan Antar Lembaga Bawaslu Jateng.
Dan juga jelas menyatakan bahwa kesalahan mereka bukan kesalahan pelanggaran Kampanye, tapi lebih kepada aturan netralitas seorang kepala daerah. Yang diatur sesuai UU Nomor 9 Tahun 2014 maupun UU nomor 9 Tahun 2015, tentang Pemerintahan Daerah.
Tapi pertanyaannya, merujuk kepada deklarasi kepada daerah-daerah lain, kenapa Bawaslu daerah tidak serta merta langsung menyatakan itu adalah sebuah pelanggaran, seperti yang telah dilakukan kepada pemprov atau pemkot dan pemkab di Jawa Tengah.
Kemudian ditengah-tengah sulitnya untuk berkata netral di dalam pemilihan presiden ini, sebab mereka juga merupakan bagian dari pengurus partai daerah juga. Dimana mereka tetap harus mengerjakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai seorang petugas partai, disamping mereka juga sosok kepala daerah. Tentu peran mereka harus nyata-nyata dalam soal dukung mendukung.
Hal ini tentu menjadi sebuah dilema tersendiri juga. Bagaimanakah untuk bisa menyikapi ini? Perlukah keluar UU yang tegas,bahwa seorang kepala daerah tidak boleh rangkap jabatan lagi di sebagai pemimpin partai di daerah yang mereka pimpin?