Disinilah letak pentingnya peran media.Sebab dengan media bisa mengungkapkan banyak hal peristiwa yang terbungkam atau sengaja didiamkan supaya tidak menjadi bahan dalam tanda kutip 'aib' . Apalagi ketika media itu berada di dunia kampus, dan mahasiswa yang ambil peran di dalamnya. Maka akan sangat baik memberitakan perihal tentang mahasiswa dan dunia kampus yang sedang terjadi di kampusnya.
Disamping mungkin sebagai media penerbitan terhadap banyaknya materi-materi tulisan yang berisi riset dan ilmu yang tentu akan berdampak kepada pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Yang tentunya akan bisa mendongkrak bahwa kampus itu benar-benar menghasilkan banyak temuan-temuan karya tulisan yang berguna bagi pengembangan masyarakat sekitar.
Kasus yang menimpa salah satu mahasiswa KKN yang melakukan KKN di Kepulauan Seram,Maluku, sepertinya menjadi puncak gunung es. Pasalnya jika tidak diungkap atau dikorek kejelasan dari pihak kampus seakan tertutup atas fenomena-fenomena ini. Dimana pihak kampus yang notabenenya merupakan pusat pendidikan tinggi dan pusat pembentukan karakter juga, tidak boleh berdiam berdiam menyikapi kasus yang berkembang di dalam internal mereka.
Timbul pertanyaan, seandainya bagaimana jika tidak ada media yang menyorot atau tiada kepedulian dari sesama rekan-rekannya yang lain atas peristiwa-peristiwa tersebut? Apakah mungkin kasus ini bisa terbongkar ke ranah publik.
Sedangkan bagi si korban sendiri, bagai buah simalakama, yakni merasa serba salah juga. Antara melapor atau tidak. Jika dilapor, takutnya pihak kampus tidak percaya hal itu telah terjadi dan nama kampus bisa tercoreng karena aib tersebut. Sedangkan dilain pihak, jika hal tersebut tidak dilapor maka peristiwa tersebut bisa saja akan semakin kerap terjadi. Bukan hanya kepadanya, kepada rekan-rekan mahasiswi yang lain seluruh kampus di manapun hal tersebut bisa terjadi.
Apalagi kasus yang menimpa mahasiwi Fisipol UGM angkatan tahun 2014 tersebut termasuk kejadian yang cukup lama baru bisa terbongkar. Seperti dilansir oleh merdeka.com (4/2/2019), terjadi sekitar akhir Juni 2017, dan baru pada hari Senin (4/2/2019) lalu oleh pihak rektorat menyatakan, bahwa sudah ada perdamaian dari kedua belah pihak.
Dengan mengatakan bahwa si korban sendirilah yang meminta supaya ada proses perdamaian dengan si pelaku, yang dilakukan secara internal kekeluargaan. Artinya sudah hampir 1,5 tahun peristiwanya baru diproses oleh pihak kampus. Pihak kampus seakan menutup rapat kasus ini, supaya tidak terbongkar. Mungkin karena alasan moralitas di dalamnya juga.
Kemudian usai peristiwa tersebut terjadi, si korban sudah melapor, tapi proses tindakan atau konsekuensi yang di terima seakan berjalan di tempat. Mencoba melakukan beberapa kali mediasi, tapi mediasi yang dilakukan malah justru merugikan si korban sendiri. Dengan memberikan nilai C pada program KKN yang dikerjakannya.
Kepolisian-pun tetap menyatakan bahwa kasusnya tetap berlanjut. Meskipun sudah ada perdamaian dan kepolisian pun mengapresiasi adanya proses perdamaian tersebut. Tapi penyidikan akan tetap dilanjutkan oleh kepolisian. Sebab sudah memenuhi kriteria untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut, yakni ada pelapor, ada korban dan ada juga si terlapor.
Sebagai upaya mencari bukti-bukti supaya bisa dilimpahkan ke pengadilan atau akan cukup dengan mengeluarkan SP3 dari pihak kepolisian. Sehingga pertanyaan, benarkah peristiwa perkosaan tersebut terjadi? Bisa segera terungkap secara terang benderang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H