Lihat ke Halaman Asli

Rinto F. Simorangkir

Seorang Pendidik dan sudah Magister S2 dari Kota Yogya, kini berharap lanjut sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Polemik Larangan Ucapkan Natal, Manakah Sikap yang Bijak?

Diperbarui: 26 Desember 2018   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.jawapos.com

Ada pro dan kontra di tengah-tengah umat bangsa kita yang memang multi etnis dan multi kepercayaan. Khususnya dalam hal keyakinan dan implementasi terhadap segala ritual keagamaan kita, tak jarang kita akhirnya sering mengalami konflik antara satu dengan yang lain.

Tapi ada baiknya di tengah kekurangan akan pengetahuan dan kurang mendalamnya pengetahuan keagamaan kita, seharusnya kita lebih mendengarkan orang-orang yang jauh lebih dalam pemahaman tentang ilmu keagamaannya. Mengetahui bagaimana rekam jejaknya sehingga dia bisa seperti sekarang ini.

Dan bukan asal mendengarkan orang, di mana ketika kita sendiri-pun tahu bahwa tingkat kedalaman pengetahuan dan kehidupan keimanannya-pun ternyata masih rendah. Khususnya ketika kita mengalami kebimbangan antara mengucapkan natal itu boleh atau tidak. Maka ini pendapat Quraish Shihab. Kita ketahui bersama bahwa beliau sangat teguh dan sangat dalam keimanannya.

Di mana seperti yang dilansir oleh tribunnews.com (25/12/2018), bahwa justru di Indonesia sendirilah hal ini mengalami polemik dan pertentangan. Sementara jika Timur Tengah sendiri hal ini hal ini tidak pernah menjadi masalah.

Beliau menjelaskan orang yang pertama bahkan tertulis di dalam Quran, yang mengucapkan natal adalah Nabi Isa. Beliau mengutip sebuah ayat, Salam sejahtera untukku, pada hari kelahiranku, pada hari aku dibangkitkan. Jadi berdasarkan ayat itu justru kita harus mengucapkan selamat natal.

Ketika kita-pun mengucapkan selamat natal, bukan bentuk pengakuan kita kepada mereka. Tapi hal ini justru meningkatkan harmoni dalam kita berbangsa dan bernegara.

Jadi jika ada pendapat yang demikian, kenapa kita tidak mengikuti pendapat yang demikian, bahkan ternyata, ada dasar ayatnya di dalam Quran?

Kita ketahui bahwa fatwa adalah aturan tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang seperti MUI. Ataupun larangan tertulis lainnya yang bisa dikeluarkan oleh seorang menteri, yang disebut dengan permen (peraturan menteri). Adalah hal yang baik ketika fatwa ataupun peraturan tersebut yang dikeluarkan adalah benar-benar membuat kita bisa hidup berdampingan, saling menghormati dan tentunya tidak merugikan siapapun ketika hal itu dikeluarkan atau diresmikan.

Makanya baik bagi MUI ataupun Menteri Agama, tidak pernah mengeluakan UU atau Fatwa semacam larangan untuk mengucapkan natal bagi warga kristen Indonesia yang sedang merayakannya.

Tapi sikap PSI yang demikian, di mana seperti yang dilansir oleh news.detik.com (26/12/2018), jelas-jelas mengeluarkan instruksi supaya seluruh kadernya baik beragama Muslim ataupun non Muslim supaya bisa mengucapkan selamat natal kepada umat Nasrani yang sedang melaksanakannya. Instruksi itu dikeluarkan, oleh Sekjend PSI, Raja Juli Antoni.

Di mana ketika ada instruksi, tentu hal itu akan segera  dilakukan oleh seluruh kader mereka. Meskipun hanya dalam skope internal PSI sendiri, tapi sikap yang demikian justru bisa melanggar kebebasan orang dalam mengekspresikan keimanan keagamaannya masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline