Lihat ke Halaman Asli

L. Rintis Susanti

Researcher-Activist/ Labor Movement/ Social and Gender/ Politics/ Gender and Development/ Gender Studies

Nasib Perempuan Purna Migran, Reintegrasi Setengah Hati

Diperbarui: 16 November 2024   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebentar lagi di seluruh daerah di Indonesia akan diadakan pemilihan kepala daerah secara serentak, pada 27 November 2024. Ini adalah momentum yang bagus bagi masyarakat untuk melihat kembali komitmen politik dari para calon kepala daerah bagi persoalan yang dihadapi perempuan purna migran misalnya. 

Seperti yang sudah-sudah, buruh migran akan selalu dielu-elukan sebagai pahlawan devisa negara, namun persoalan kesejahteraan manusianya belum diperhatikan secara seksama.

Pada tahun 2017 pemerintah Indonesia telah membuat Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, patut kita apresiasi niat baiknya. Akan tetapi, ada persoalan yang masih jarang didiskusikan oleh para stakeholder pembangunan di Indonesia, termasuk oleh NGO, yakni persoalan yang dihadapi perempuan purna migran dalam proses reintegrasi ke masyarakat dan pembangunan di daerah asalnya (pasca-migrasi).

Pasca-Migrasi dan Agenda Pembangunan Lokal

Setelah bertahun-tahun perempuan purna migran bermigrasi dan bekerja di luar negeri, mereka pulang ke desa asal hanya untuk menemui kenyataan bahwa di desanya tidak ada kesempatan kerja yang terbuka. Alih-alih membangun struktur perekonomian di pedesaan, pemerintah justru hanya membuat program tambal sulam seperti program kewirausahaan atau edukasi pengelolaan remitansi untuk purna migran.

Bagaimana mungkin kewirausahaan tersebut bisa berkembang jika tidak dipenetrasi ke dalam potensi ekonomi lokal yang ada. Pembangunan potensi ekonomi lokal juga mensyaratkan adanya pembangunan manusia terlebih dulu; bukan hanya persoalan pembangunan infrastruktur atau pembangunan industri lokal. 

Pembangunan manusia bagi perempuan purna migran diarahkan untuk dapat menumbuhkan kapasitas mereka untuk dapat berpartisipasi secara bermakna dalam pembangunan di desanya. Jadi selain mendesain konsep kebijakan mengenai reintegrasi ekonomi, pemerintah di dalam regulasi pasca-migrasi juga berkewajiban untuk mendesain kebijakan mengenai reintegrasi sosial-politik bagi perempuan purna migran. 

Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 mengenai Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, peraturan dan definisi mengenai reintegrasi masih sangat samar. Karenanya, peran Bupati dan Walikota yang harusnya dapat lebih memahami proses dan problematika reintegrasi di pedesaan, menjadi penting untuk menerjemahkannya ke dalam Peraturan Daerah.

Kabupaten Indramayu sebagai salah satu daerah lumbung buruh migran telah mengambil keputusan yang tepat untuk membuat Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pelindungan Pekerja Migran Asal Indramayu.

 Pembentukan Perda tersebut telah memberi sumbangan besar untuk pembentukan sistem hukum bagi pelindungan purna migran karena secara spesifik telah menjabarkan proses reintegrasi pasca-migrasi, yang belum dijelaskan oleh UU di atasnya.

Dengan mengambil contoh pengaturan  mengenai reintegrasi pasca-migrasi di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu tersebut (Pasal 26, 28, 33); kewajiban pemerintah dalam konteks reintegrasi purna migran ke komunitas asal, masih dipahami sebatas layanan atas problem individual purna migran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline