Lihat ke Halaman Asli

Rintar Sipahutar

TERVERIFIKASI

Guru Matematika

"Robohnya Surau Kami", Autokritik untuk Semua Umat Beragama (1)

Diperbarui: 7 Februari 2021   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangkapan layar dari goodreads

Saya sudah berulangkali membacanya tetapi tidak pernah bosan. Mungkin tidak berlebihan jika saya menyebut "Robohnya Surau Kami" (1955), karya Ali Akbar Navis sebagai cerpen terbaik yang pernah ditulis oleh sastrawan Indonesia, hingga saat ini. Saya menyebut demikian karena beberapa alasan diantaranya: 

Pertama, keberanian A A Navis mengangkat tema yang sangat jarang disentuh oleh sastrawan pada masa itu hingga sekarang, yaitu kritik terhadap pemeluk agama Islam yang notabene juga agama A A Navis sendiri yang saya sebut sebagai autokritik, dengan bahasa yang sangat tajam dan vulgar. 

Tokoh Haji Saleh digambarkan sebagai umat yang sangat rajin menyembah Tuhan. Siang dan malam bahkan setiap saat, tidak ada pekerjaan lain dari Haji Saleh selain beribadah, menyebut nama Tuhan dalam segala situasi, serta rajin membaca kitab suci. Itulah mengapa Haji Saleh sangat yakin akan masuk surga saat sedang berantri di akhirat.

Tetapi dalam segala tingkah ketaatannya ternyata Haji Saleh sama sekali tidak mengerti "hakikat beribadah". Sehingga Haji Saleh tidak pernah mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki Tuhan dari ibadahnya. Haji Saleh berpikir bahwa Tuhan itu mabuk disembah dan suka pujian saja, sehingga hal itulah yang selalu dilakukannya setiap hari.

Haji Saleh juga berpikir bahwa dengan rajin beribadah, pintar mengaji dan menghafal luar kepala isi kitab suci, itu sudah cukup. Tetapi hakikat ibadah yang sesungguhnya ternyata bukan itu. Tidak cukup hanya pintar mengaji dan hafal ayat kitab suci luar kepala namun harus dimasukkan ke hati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tuhan menginginkan ibadah yang seutuhnya, yaitu diikuti perbuatan nyata dalam kehidupan, seperti tidak suka saling berkelahi, tidak saling menipu dan saling memeras serta tidak pemalas, dsb. Intinya ibadah yang sesungguhnya tidak boleh egoistis atau mementingkan diri sendiri, tetapi harus memperhatikan saudara sekaum, anak, istri dan harus rajin beramal untuk membantu sesama. 

Karena ketidaktahuannya itulah maka Haji Saleh tidak habis pikir ketika dirinya dimasukkan ke neraka. Di satu sisi dia yakin bahwa Tuhan tidak mungkin silaf tetapi di sisi lain dia malah mempertanyakan dan ingin mengingatkan Tuhan kalau-kalau Dia mungkin silaf.

 Tetapi lebih parahnya lagi ketika di neraka Haji Saleh berjumpa dengan teman-temannya yang tidak kurang ketaatannya dalam beribadah. Bahkan dengan salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula, juga masuk ke dalam neraka jahanam itu.

Kedua, "Robohnya Surau Kami" adalah cerpen kontemporer yang selalu up to date atau kekinian dan tidak akan pernah usang di makan zaman. Selalu sesuai dengan situasi masa lalu, masa kini dan di masa yang akan datang. Sosok seperti Haji Saleh itu dengan segala tingkahnya masih selalu relevan dengan situasi saat ini bahkan di masa yang akan datang.

Jika diperhatikan salah satu "tabiat" Haji Saleh dan teman-temannya yang tidak kurang taatnya beribadat adalah selama di dunia mereka suka demonstrasi, suka protes meneriakkan resolusi dan revolusi. Hal itupun terbawa-bawa hingga ke akhirat, bahkan Tuhan pun mereka protes dengan berdemonstrasi dan Haji Saleh tampil sebagai pemimpin dan juru bicara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline