21 tahun yang silam
Aku berdiri di puncakmu
Ketika itu hujan berbuah teramat lebat sangat
Kelaparan hampir merenggut nyawaku
Kedinginan membuat lidahku kelu
Kakiku kaku, dan tubuhku membeku
Kabut, embun dan awan di puncakmu
Menabrak wajahku menghajar perutku
Aku terjungkal, tumbang lalu terkapar
Aku tidak mempunyai selimut untuk penghangat
Juga sedikit makananpun aku tidak ada
Ingin aku mengetuk kamarmu
Membangunkanmu meminta apimu
Siapa tau di periukmu tersisa sebutir nasi
Tapi aku terlalu takut amarahmu bangkit
Laharmu terlalu panas
Debumu terlalu tebal untuk di hirup
Lebih baik aku mati kelaparan
Dalam kedinginan hujan, embun, awan dan kabut
Tetapi saya terlalu yakin
Engkau tidak dapat melakukan apapun
Engkau sudah mati
Amarahmu sudah mai
Debumu sudah mati
Laharmu sudah mati
Aku salah,
aku khilap,
tertampar tanya
Engkau masih hidup, debumu panas tinggi
Engkau marah tak putus-putus
4 tahun lebih engkau meradang
Dan belum ada tanda-tanda berhenti
Batuk rejanmu bergemuruh
Aku sumpahi semoga engkau mati
Tak pernah hidup untuk selamanya
Agar sakitmu sembuh dan tidak pernah kambuh. (RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H