Setelah sempat belok kiri, mengadakan sayembara berhadiah tinggi terkait Harun Masiku, Menteri Ara muncul lagi ke media. Kali ini berurusan dengan tugas-tugas utamanya, yakni tentang penyediaan rumah untuk rakyat. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 3 juta rumah. Menurut Menteri Nusron, setidaknya diperlukan lahan seluas 26.000 hektar, atau kurang lebih 260 km persegi. Luasnya hampir mencapai setengah luas Jakarta, kurang lebih gabungan dari wilayah daratan Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
Mengadakan lahan seluas itu tentunya pekerjaan besar. Menjadi catatan, luas lahan yang diperlukan, jauh lebih besar. Hal ini dikarenakan perlunya penyediaan sarana publik seperti pasar, jalan raya, jalan penghubung, rumah sakit, sekolah dan masih banyak lagi. Penyediaan lahan, sayangnya bukanlah bagian dari tugas dan fungsi Menteri Ara. Makin puyeng kepala beliau memikirkannya.
Tentunya niat baiknya untuk menghibahkan tanah pribadinya seluas 2 hektar patut disyukuri. Namun, itu masih sangat jauh dari luas lahan yang diperlukan untuk tahun 2025 saja. Bisa makin kurus Menteri Ara memikirkan hal rumit terkait penyediaan rumah bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah ini.
Persoalan lahan masih menjadi kerikil yang harus disingkirkan, persoalan lain juga ternyata masih harus dijawab. Dari mana dananya? APBN jelas-jelas tidak mampu untuk menyediakannya. Prabowo saja sudah membatalkan banyak proyek. Seperti proyek strategis nasional di Pantai Indah Kapuk. Naga-naganya proyek ini akan tertunda, jika tidak berhenti. Pembangunan Ibukota Nusantara juga, tidak mendapat porsi yang sepantasnya. Infrastruktur juga akan terpinggirkan. Mungkin, perlu uang jauh lebih banyak untuk memenuhi pengeluaran kabinet yang super duper gemuk itu. Tapi, prinsip 'Ayo Gas', mungkin masih membara di dada.
Melirik Bank Dunia
Apa daya, demi cita-cita mulia, Menteri Ara mendadak mendelik ke arah Bank Dunia. Beliau bermaksud meminjam dari organisasi multilateral ini. Sudah pasti, Bank yang tidak memiliki anjungan tunai mandiri serta yang nasabahnya adalah negara, senang dengan lirikan Menteri Ara. Meskipun, disebut bank pembangunan, tetap saja Bank Dunia adalah bank seperti umumnya. Orientasinya pasti untung (profit).
Menteri Ara harus bekerja keras untuk meyakinkan bahwa permintaan pengajuan hutang ini harus masuk ke buku hijau di Badan Perencanaan Nasional. Prosesnya seperti itu. Negosiasi biasanya diadakan dengan Badan Perencanaan Nasional, Kementerian Keuangan dan Kementerian Teknis, yang dalam hal ini adalah Kementerian Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Kementerian yang dilahirkan Prabowo dalam Kabinet Merah Putih, sebagai hasil dari bedah sesar dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Berapa kira-kira jumlah yang harus dipinjam dari Bank Dunia? Jika mengacu kepada standar rumah subsidi yang akan dibangun, yakni tipe 30/60 dengan kisaran harga Rp. 200 juta per rumah, maka setidaknya diperlukan dana 200 juta dikalikan 3 juta, yakni Rp. 600 triliun. Jumlah yang sangat fantastis. Jika dikonversi ke mata uang Paman Sam, sekitar USD 40 milyar. Jumlah yang sangat dahsyat. Makin pusing kepala Menteri yang sering disebut sebagai Bang Ara ini. Tidak mungkin pemerintah meloloskan permintaan penambahan hutang sejumlah itu. Terlebih, dana itu untuk membangun rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Perlu Menjadi Perhatian