Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Bencana, Pemulihannya dan Persoalan Rumit yang Tak Pernah Tuntas

Diperbarui: 30 November 2017   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ancaman tanah longsor dan pergereakan tanah semakin sering terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Ancaman ini sering tidak dimitigasi karena keterbatasan sumber daya. Akibatnya masyarakat yang terdampak menjadi marah, frustrasi dan menuju pada konflik sosial yang berkepanjangan. Sementara pemerintah tidak sanggup dengan frekuensi kejadian yang tinggi di banyak lokasi di Indonesia. Sumber: regional.kompas.com

Di tengah letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara,  yang tidak jelas kapan berhentinya, tersiar sebuah berita mengejutkan. Masyarakat protes atas kebijakan pemerintah merelokasi penduduk terdampak bencana.

Demonstrasi yang berujung ricuh itu menewaskan seorang warga. Peristiwa itu terjadi pada Jumat (29/7/2016). Masyarakat setempat menolak keras program relokasi masyarakat terdampak erupsi Gunung Sinabung ke desa mereka, Desa Lingga.

Alasan masyarakat yang menolak wilayahnya menjadi tempat relokasi penduduk terdampak berjumlah sekitar 1.600 orang, cenderung karena akan terjadi persaingan yang tinggi dalam mata pencaharian. Luas lahan tersedia untuk masyarakat setempat tidak cukup untuk sumber penghidupan. Rata- rata, satu keluarga hanya hanya memiliki 2 hektar untuk bercocok tanam.

Jika ada tambahan masyarakat baru dalam jumlah besar, ujungnya akan mempersempit lahan pertanian. Lahan yang menjadi sumber penghidupan, lahan yang menjadi faktor keberlanjutan hidup, akan berkurang drastis. Penolakan yang berujung rusuh tersebut menjadi sebuah gambaran yang nyata akan dampak lain dari bencana berupa munculnya konflik sosial.

Kejadian yang relatif sama terjadi juga di Kabupaten Mentawai pasca tsunami tahun 2010. Penduduk yang direlokasi dari tempat yang rawan tsunami ditolak oleh masyarakat yang menghuni desa yang akan dijadikan tempat relokasi. Relokasi di Pagai Utara itu ditentang penduduk setempat karena akan mengurangi lahan mereka.

Seringkali, bukan perencanaannya yang bermasalah, tetapi ketersediaan sumber daya termasuk lahan-lahan aman untuk relokasi. Konflik yang terjadi tidak melulu antara masyarakat dengan masyarakat, tetapi juga antara masyarakat dengan pemerintah.

Program Pemulihan yang Masih Menyimpan Bara

Konflik yang masih tersisa bisa dilihat di Magelang pasca letusan Gunung Merapi tahun 2010. Keputusan meninggalkan lahan yang ditempati ditolak masyarakat. Meskipun lahan mereka masuk area terdampak langsung. Area dimana pemerintah melarang sebagai tempat tinggal.

Kurang lebih 600 kepala keluarga menolak direlokasi ke daerah aman. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memindahkan mereka dalam upaya menghindarkan terkena bencana di kemudian hari. Tetapi, ketergantungan akan penghidupan dan sumber-sumbernya membuat masyarakat terdampak menolak meninggalkan tempatnya.

Lokasi relokasi ternyata jauh dari lokasi asal. Ukuran lahan dan rumah mengecil. Masyarakat terbiasa dengan rumah luas dan pekarangan besar. Mereka direlokasi dan diberi lahan hanya 100 meter persegi. Masyarakat pun menolak

Luas tanah dan rumah lebih kecil yang ditawarkan pemerintah terkait dengan kemampuan pemerintah menyediakan pendanaan dan terbatasnya lahan yang tersedia. Lahan-lahan yang aman dari letusan Gunung Merapi tidak cukup luas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline