Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Terberkatilah Dia Pencipta Kompasiana

Diperbarui: 27 Oktober 2017   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kompasiana.com

 Di ruang kosan di Bandung, awal 1990-an, dengan mesin ketik yang satu kakinya patah, seorang anak SMA mencoba menulis cerpen. Berhari-hari dihabiskan untuk menyelesaikan cerpen romantisnya. Dengan imajinasi tinggi, tentang kasmarannya yang coba dituangkan di beberapa lembar kwarto. Setelah cerita terangkai, tergesa dia mengirimkannya ke Kompas. Tidak berbilang bulan, jawaban diterima. Tulisan ditolak.

Dunia sepertinya runtuh, dengan segala kepolosan berfikir bahwa tulisan yang dikirimkan akan semua dimuat. Kecewa mendera. Proses kreatif terhenti. Tidak ada lagi imajinasi. Meskipun ratusan puisi tercipta untuk asmara remaja tiada terkata.

Bahkan, seorang gadis yang dikangeni berhasil mengimajinasi 40 puisi yang tersimpan rapi. Lalu, hilang begitu saja. Anak lelaki remaja  itu pun berhenti menghentakkan jemari di papan ketik mesin ketik Brother itu. Remaja itu adalah aku.

Puluhan tahun kemudian, di jelang paruh hidupnya, lelaki itu terhentak oleh sebuah pertanyaan yang muncul akan kesadaran. Apakah yang akan aku tinggalkan nanti? Kemana hasil dari diskusi berbusa-busa di ruang kelas? Kemudian waktu akan sia-sia, yang dihabiskan dalam proses dialektika formal dan non formal? Ketika itu, setelah menyelesaikan program pendidikan tingkat pascasarjananya, kegelisahanku muncul.

Hentakan itu menghantar dalam sebuah penelusuran di dunia maya. Meskipun sudah banyak potongan kalimat yang dituangkan di berbagai media sosial, rasanya itu bukan sebuah karya proses berfikir berbentuk tulisan yang seutuhnya.

Hasil penjelajahan mempertemukan aku dengan Kompasiana. Sebuah bentuk yang awalnya tidak dimengerti. Lalu sibuk membaca artikel-artikel yang ada. Tiba-tiba sedikit rasa percaya diri muncul. "Kok rasanya tulisan-tulisannya tidak istimewa", sebuah suara batin meluncur begitu saja.

Dalam pengertianku, tulisan itu adalah opini di Kompas Cetak. Itulah bentuk tulisan yang diinginkan. Bukan bentuk lain. Bukan puisi, meskipun dulu pernah mencipta banyak puisi. Bukan cerita pendek, meskipun tulisan pertama yang dikirimkan ke Kompas cerita pendek. Opini Kompas cetak, yang sekarang konsisten di halaman 6, akhirnya menjadi standar.

Dengan itulah, aku melihat tulisan di Kompasiana. Aku seperti menemukan sebuah tempat untuk menyalurkan keinginan menulis yang dulu sekali termatikan. Semakin sering membaca, semakin aku ingin mencurahkan isi kepala dalam tulisan dan memuatnya ke Kompasiana.

Setelah cukup lama memperhatikan, pada 25 Juli tahun 2014, aku pun menjadi kompasianer. Tiba-tiba otak menjadi kelu. Ketika hendak menulis, tulisan tidak terbentuk. Ide sudah menggelinjang di kepala, tetapi tidak mau ruah ke dalam tulisan.

Tiba-tiba sejuta pertanyaan melayang dan menghantui lagi. Layaknya hantu yang menakuti dan membuatku tiarap dalam gelap berkepanjangan. Beribu pertanyaan muncul dan selalu berulang. Apakah tulisanku bagus dan benar? Nanti bagaimana kalau tidak bagus?

Pertanyaan masih berlanjut. Apa komentar pembaca? Nanti aku di-bully karena tulisan jelek? Apakah aku sudah paham dengan penggunaan titik, koma dan huruf besar serta kalimat dalam kutipan? Bagaimana menempatkan dialog dalam sebuah tulisan? Apakah diksi sudah tepat dan menggambarkan pikiranku? Apakah alur tulisan sudah logis?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline