Gempa bumi terjadi hampir setiap hari di Indonesia, negara tercinta ini. Risiko bencana gempa ini relatif merata di seluruh Indonesia. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 80% wilayah Indonesia terletak di daerah yang rawan gempa bumi. Bahkan, penelitian terbaru yang dilakukan LIPI, menunjukkan bahwa masih banyak sesar yang belum terpetakan dan menyimpan ancaman bagi keselamatan di semua sektor termasuk pendidikan.
Kemungkinan angka ini bertambah, sebabnya, pada Juni 2016 terjadi gempa di Kalimantan Tengah dan Barat, yang sebelumnya dianggap aman dari ancaman gempa. Bahkan gempa Pidie Jaya menunjukkan adanya patahan yang belum terpetakan, yang juga menyimpan ancaman dan meningkatkan risiko bangunan sekolah, sesuai Laporan Kaji Cepat Tsunami and Disaster Mitigation and Recovery Center (TDMRC) Universitas Syah Kuala, yang dirilis pada 18 Desember 2016.
Kejadian gempa bumi di Pidie Jaya pada 7 Desember 2016 itu masih menyisakan trauma hingga kini. Gempa yang mengakibatkan korban meninggal 103 orang dan pengungsi 91.267 orang ini, mengakibatkan kerusakan 191 bangunan sekolah. Kita masih beruntung, gempa Pidie Jaya dan gempa lainnya sejak 2000 hingga 2016 terjadi di luar jam sekolah. Bisa dibayangkan jika kejadiannya saat jam sekolah. Dampak yang ditimbulkan akan luar biasa bagi warga sekolah terutama murid-murid.
Sebagai gambaran dampaknya bisa dilihat dari kejadian gempa Sichuan pada Mei 2008. Gempa terjadi beberapa menit setelah anak-anak masuk sekolah. Menurut laporan pemerintah Cina, seperti diberitakan Guardian edisi 7 Mei 2009 setahun setelah kejadian, gempa Sichuan mengakibatkan korban meninggal dan hilangnya 5.335 murid sekolah. Angka yang dirilis pemerintah ini diragukan berbagai pihak di Cina. Sebab, banyaknya bangunan sekolah yang ambruk sementara bangunan di sekitarnya masih kokoh berdiri. Angka ini juga ditenggarai sebagai politis. Tetapi, dipastikan bahwa banyaknya korban murid-murid karena rentannya bangunan sekolah di hadapan ancaman gempa bumi.
Kondisi yang rentan dan kapasitas yang rendah meningkatkan risiko ancaman gempa bumi. Gempa bumi setidaknya menjadi salah satu ancaman bencana paling diperhatikan pemerintah dan yang dominan terjadi di Indonesia serta dampak kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.
Faktor pencetus kerentanan
Relatif sama dengan di Cina, kerentanan bangunan sekolah di Indonesia ditenggarai disebabkan beberapa faktor, yakni kerusakan karena usia yang sudah melewati masa pakai, kualitas bangunan sekolah yang di bawah standar, pemeliharaan yang buruk dan kapasitas pengelolaan risiko yang tidak memadai di tingkat sekolah. Menurut data Kementerian Pendidikan tahun 2016/2017, dari total jumlah 1.711.051 ruang kelas, 70,11% mengalami kerusakan dengan rincian rusak ringan 55,44%, rusak sedang 5.84%, rusak berat 4.77% dan rusak total 4,06%. Hanya 29.89% yang benar-benar baik. Kerusakan ini meningkatkan kerentanan bangunan.
Data ini memang masih perlu dicermati, karena kerusakan bangunan sekolah dari segi struktur yang menahan kekuatan gempa tidak terpetakan. Sebabnya, penilaian kerusakannya menggunakan metode visual dan dilakukan kepala sekolah yang belum tentu memiliki kapasitas yang sesuai.Kerusakan yang berkontribusi pada kerentanan bangunan sekolah diperburuk lagi oleh praktek-praktek 'culas' dalam pembangunan, rehabilitiasi dan pemeliharaannya. Belum lama, Sri Hartini, mantan Bupati Klaten tertangkap tangan KPK melakukan jual beli jabatan. Sri Hartini berkolaborasi dengan Kepala Dinas Pendidikannya sebagai 'pengepul' hasil jualannya. Ke belakang, ada kasus penangkapan Yon Anton Ferdian, mantan Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan. Kasusnya terkait suap Dinas Pendidikan di daerahnya melalui praktek ijon proyek.
Bisa dipastikan, praktek di hilirnya akan relatif sama, koruptif. Ujung-ujungnya, kualitas bangunan yang dikorbankan termasuk kualitas dan dimensi material, cara pengerjaan yang asal-asalan termasuk pengawasannya dan bahkan dimensi bangunan seperti ketebalan lantai dan kolom.
Bangunan-bangunan sekolah yang dibangun di masa Inpres ditenggarai juga memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Menurut Muhammad Hamid, Dirjen Dikdasmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bangunan sekolah tahun 1970-an-1980-an dibangun seadanya. Termasuk lokasinya yang tidak aman terhadap bencana.
Bangunan sekolah berlokasi di tepi bukit, sempadan sungai dan juga di kawasan-kawasan yang tidak memadai seperti rawa-rawa yang ditimbun dan tanah persawahan yang dikonversi dengan pemadatan yang tidak maksimal. Ini berakibat bangunan sekolah mengalami penurunan, yang bisa mengakibatkan retaknya bangunan. Genangan air juga kerap muncul yang berpotensi pada kekuatan tulangan.
Praktek-praktek lain yang mengakibatkan kerentanan sekolah termasuk mulai dari kompleksitas alur birokrasi hingga pemerasan politik. Hal ini diungkapkan Direktur Pembinaan Sekolah Dasar, Wowon Wirdayat. Birokrasi yang rumit mempersulit pihak sekolah untuk meyampaikan laporan. Kepala sekolah yang mendapatkan dana juga sering dijadikan 'sapi perah' oleh pejabat daerah terutama ketika pelaksanaan pemilihan kepala daerah.