Istilah yang biasa didengar adalah perangkap hutang. Dimana sebuah negara harus tunduk kepada pemberi hutang dengan segala syarat dan tuntutannya agar mendapatkan pinjaman hutang yang diperlukan untuk menutup defisit anggaran belanja negaranya.
Syarat-syarat yang diberikan para pemberi hutang sangat bervariasi dan biasanya sangat politis. Kadang, pinjamam tidak jadi dilakukan sebab syaratnya sangat sensitif dan cenderung mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.
Mungkin masih ingat dengan IGGI dengna ketuanya JanPieter Jan Pronk yang ditolak oleh Suharto pada Maret 1992, karena mengaitkan pemberian pinjaman dengan isu hak asasi manusia, terutama peristiwa Santa Cruz di Timor Timur. Soekarno juga pernah menolak bantuan yang penuh dengan syarat ini. Ucapan Soekarno “Go to hell with your aid” menandai hutang tidak selalu ‘tulus’ diberikan.
Pada tahun 1997, ketika kekacauan perekonomian terjadi di Indonesia, International Monetary Fund (IMF), memberikan bantuan 11,3 milyar dolar dengan berbagai syarat yang harus dipatuhi.
Apa mau dikata, dengan gaya seperti seorang murid di depan gurunya, Soeharto menandatangani Letter of Intent di hadapan Mr. Camdessus ketika itu dan IMF mencairkan bantuan. Beberapa syarat yang diajukan termasuk privatisasi perbankan, penghentian bantuan pemerintah untuk proyek mobil nasional, reformasi PNS, perubahan undang-undangan, devaluasi mata uang, peniadaan kontrol uang, liberalisasi harga, penghapusan subsidi dan harga, pengetatan anggaran, dan liberalisasi perdagangan.
Hutang menjadi perangkap, terutama bagi negara ketiga seperti Indonesia karena hutang yang semakin besar dari tahun ke tahun. Sementara peningkatan pendapatan dalam negeri ternyata tidak dimaksimalkan. Belum lagi, penggunaan hutang yang seharusnya untuk belanja modal, malah diberikan untuk subsidi yang tidak tepat. Hutang digunakan untuk membiayai program-program populis. Subsidi bahan bakar bahkan dibiayai dari hutang. Lalu, darimana uang diambil untuk mengembalikannya?
Di Indonesia ternyata telah terjadi praktek gali lobang tutup lobang. Pemerintah mencari bantuan hutang untuk menutup pokok dan bunga pinjaman yang jatuh tempo. Besarnya hutang ini menempatkan negara penghutang menjadi lemah di mata donor. Hal ini akan bermuara pada gampangnya negara-negara debitor itu dicocok hidung oleh kreditor.
Lalu globalisasi menjadi gampang diterima negara pengutang. Swastanisasi perusahaan negara menjadi segera dilakukan. Perdagangan bebas menjadi jargon baru. Penuruan tarif bea impor gampang direalisasikan. Penanaman modal asing menjadi marak. Cost recovery di sektor migas gampang dimainkan. Semuanya dipersyaratkan dalam perjanjian pinjaman.
Tetapi, jika hutang terus membengkak dan membengkak, disamping berdampak negatif terhadap negara penghutang, ternyata menimbulkan kecemasan para negara kreditor. Negara pengutang bisa menyandera negara pemberi hutang. Debitor bisa ‘menyandera’ kreditor. Perangkap hutang bisa berubah menjadi perangkap piutang.
Kreditur yang Tersandera
Dalam salah satu adegan di salah satu film Godfather, ada satu ucapan Al Capone yang bisa dimaknai sebagai gambaran perangkap piutang. “Jika kamu memiliki pinjaman ke bank sebanyak 1000 dolar, maka kamu milik bank. Jika kamu memiliki hutang 1 juta dolar ke bank, maka kamu memiliki bank”, ujar Al Capone dalam adegan itu. Kurang lebih seperti itu ucapannya. Dalam konteks film yang berlatar belakang tahun 1940-an itu, jumlah uang 1 juta dollar sudah sangat besar.