Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Rahasia Kekuatan Kartini Menjalani Sengsaranya

Diperbarui: 26 April 2017   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: hidupseimbangku.com

Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan kaum perempuan. Kartini juga dikenal sebagai inspirator persamaan jender (gender equality) di Indonesia, dianggap sebagai lambang pergerakan kaum feminis, dan tentunya seorang pahlawan nasional.

Kartini anak seorang Bupati yang kebetulan memiliki pemikiran yang terbuka. Sebagai bagian dari kaum elit, Kartini memiliki akses pada pendidikan, setidaknya baca dan tulis. Akses ini setidaknya memberikan peluang bagi Kartini untuk mengetahui lebih banyak dunia, lewat buku. Selayaknya kita pahami, buku adalah jendela dunia.

Keelitan Kartini juga memberikan akses baginya untuk begaul dengan kalangan atas yang didominasi oleh bangsawan dan orang Belanda. Pergaulan tingkat atas ini memungkinkan Kartini untuk bisa memiliki sahabat pena, beberapa orang Eropa.

Di samping semua predikat yang disematkan padanya, ada sedikit pertanyaan yang menggantung. Apakah Kartini akan menjadi Kartini yang dikenang seperti ini, jika dia tidak lahir dari rahim kaum elit di masa itu? Akankah Kartini muncul jika dia lahir dari rahim kaum miskin dan papa bumiputera? Apakah cita-cita Kartini lahir dari pemikirannya sendiri atau dorongan sahabat-sahabat penanya? Mengapa disaat mendapat kesempatan belajar lebih lanjut, Kartini menyerah pada perintah orang tua dan dimadu?

Tulisan ini tidak berbicara soal pertanyaan-pertanyaan menggantung tadi. Namanya sejarah, selalu ada titik pandang yang lain. Peristiwa sejarah selalu menyisakan pertanyaan. Selalu ada sudut pandang yang bisa muncul dalam konteks waktu yang berbeda. Seperti yang disampaikan Armijn Pane dalam Habis Gelap Terbitlah Terang hasil terjemahannya. Sifat manusia suka mencari sebab, supaya dapat berlaku insaf. Karena itu tiadalah heran kita juga merasa wajib menyelidiki apa-apa sebabnya dimuliakan demikian itu.

Jika Armijn Pane mengajukan pernyataan seperti itu, wajar saja kemudian penulis memiliki pandangan yang berbeda pula. Hidup Kartini sangatlah penuh dengan penderitaan. Penderitaan yang mungkin mengakibatkan tekanan yang luar biasa, yang berujung pada singkatnya kehidupannya.

Penderitaan di Surat-suratnya

Surat-surat Kartini dipenuhi keluhan, keprihatian, penderitaan dan kesengsaraan yang dialami semasa hidupnya. Penderitaan karena tubuh dan mimpi yang dikungkung. Keinginan yang muncul karena berpandangan luas ternyata menimbulkan kesedihan tersendiri di tengah sistem yang sangat kolot waktu itu.

Dalam surat-suratnya yang dikirim kepada beberapa sahabat penanya, Kartini mengutarakan berbagai pandangannya dalam banyak hal. Banyak hal yang ditolak, ditentang dan ingin diubahnya.

Kartini menolak perbedaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat di jamannya. Perbedaan yang bermuara pada derajat perempuan yang lebih rendah dari laki-laki. Tak ayal, laki-laki dapat melakukan semua kehendaknya, sementara perempuan tidak memiliki kehendak kecuali hanya pasrah.

Kondisi masyarakat yang membedakan laki-laki dan perempuan mengakibatkan perempuan tidak boleh berpendidikan, perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah, perempuan tidak boleh menduduki jabatan di masyarakat dan paling parahnya, perempuan tidak boleh memiliki kemauan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline