Usainya pilkada DKI sebagai bagian sejarah bangsa ini tidak berarti semuanya sudah usai. Banyak hal yang harus dicatat, direkam, disimpan dan kemudian dikembangkan serta diperbaiki. Proses itu penting. Anggaplah kepentingan itu dalam konteks Knowledge Management.
Pilkada DKI sebagai suatu kontestasi politik memiliki banyak faset. Dengan demikian, pandangan dan analisa lahir secara beragam dari keniscayaan tersebut.
Belum berakhirnya kontestasi politik tersebut bukanlah sebuah hal yang harus disesalkan. Tidak ada yang benar-benar hilang dari segala sesuatu yang pernah terjadi di dunia ini. Bolehlah kita sebut itu sebagai sebuah kenyataan yang harus diterima. Terlebih lagi terkait sesuatu yang sangat penting. Sangat penting dipandang dari kompleksitas proses itu sendiri dan luasnya dampaknya.
Media-media asing pun memasang lensa analisisnya dalam proses pilkada DKI yang beraroma pilpres. Kontestasi politik perebutan kekuasaan ini justru akan selalu ada, mengalami metamorfosis dengan tujuan merebut kekuasaan. Sesuatu yang alami saja di sudut manapun di dunia ini.
Dalam alam demokrasi yang sedang dikembangkan di kehidupan bermasyarakat dan berpolitik Indonesia, di pilkada DKI dengan segala pernak-perniknya, demokrasi menemukan kebenarannya. Setidaknya kebenaran menurut Socrates. Demokrasi terlalu terbuka dan semua kemungkinan masuk ke dalam rahim demokrasi itu sendiri atas nama kebebasan dan persamaan. Selayaknya sebuah pedang, demokrasi memiliki dua sisi tajam.
Demokrasi di Indonesia yang masih dalam tahap yang muda sekali, setidaknya dilihat dari tahun 2004, dimana pemilihan presiden dilakukan dengan pemilihan langsung. Pasca 1998 hingga 2004 dalam kacamata penulis belumlah dimasukkan ke dalam suatu sistem demokrasi. Alasannya, itu masa kekosongan. Masa yang tiba-tiba muncul sebab runtuhnya sistem orde baru yang sangat otoritarian.
Pilkada DKI ini, dalam amatan para analisis, tampak menonjol element primordialis. Penonjolan elemen primordialis mewujud dalam politik identitas yang dikhawatirkan berujung perpecahan. Karena, pilihannya didasarkan pada identitas yang dilekatkan kepada kelompok. Mengangkat identitas kelompok ke permukaan sehingga terjadi penonjolan perbedaan yang sangat ‘brutal’. Kami dan bukan kami. Itu slogannya dengan berbagai bumbu praktisnya.
Proses sedemikian tidak hanya terjadi di pilkada DKI saja. Di bagian dunia lain pun, politik identitas ini sedang bermunculan. Identitas yang didasarkan pada golongan seperti di Amerika yang melahirkan American First. Sementara di Perancis dan Belanda proses yang sama tengah terjadi. Penonjolan kelompok tertentu. American First ini pun sudah mulai menjalar ke Australia. Aliran kanan di Eropa juga cenderung ‘meng-first-first-kan’ negaranya atas basis golongan.
Dalam perjalanan bangsa ini, politik identitas ini bukan barang baru. Sudah sejak lama, sejak bangsa ini berdiri. Ada semacam lelucon yang mengatakan bahwa presiden haruslah orang Jawa. Ini mungkin yang mempercepat ‘kejatuhan’ Presiden Habibie. Di daerah juga muncul ujaran pimpinan daerah harus putra daerah. Mencari justifikasinya tetnulah sangat mudah.
Kisah Megawati pasca Gus Dur dilengserkan juga mirip. Kelompok yang ingin berkuasa mengeluarkan seruan yang menegasi kepemimpinan wanita di Indonesia. Justifikasi dikeluarkan untuk upaya mengagalkan Megawati menjadi Presiden. Mungkin waktu itu pendukungnya belum banyak, maka Megawati melenggang menjadi presiden ke 5 republik ini.
Ditenggarai, proses ini berlangsung terus. Dengan ‘black campaign’, politik identitas ini coba di dorong pada pilpres 2014, ketika Jokowi maju sebagai calon presiden. Tetapi, kembali gagal. Banyak faktor yang bisa diutarakan. Tetapi pastinya justifikasinya tidak menemukan kebenarannya dan juga basis yang digunakan tidak ‘mengena’. Basisnya fitnah, begitulah adanya setidaknya terkonfirmasi dari pemilik obor rakyat telah dijatuhi hukuman.