Pasca penyiraman air keras ke Novel Baswedan oleh orang tak dikenal pada Selasa (11/4), kasus mega korupsi KTP-el sedikit muncul ke permukaan. Penyidik KPK par excelence ini memang terlibat dalam penyelidikan kasus korupsi yang melibatkan banyak politikus, elit partai, dan juga partai-partai besar. Bahkan hampir seluruh anggota Komisi II DPR tahun 2009-2014 tersebut dalam kasus ini.
Tidak urung, perlawanan dari para ‘aktor’ kasus korupsi yang namanya tercantum dalam berkas persidangan tersangka Irman, Sugiharto dan Miryam, secara sistematis terjadi. Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, sudah tersangka. Sugiharto, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri, juga sudah menjadi pesakitan. Miryam, mantan anggota DPR dari partai Hanura, telah terlihat di kursi tersangka.
Bahkan, Badan Keahlian DPR (BKD) melakukan sosialisasi revisi Undang-Undang KPK ke kampus-kampus. Revisi yang berupaya melemahkan. Sosialisasi berwujud seminar bertema Urgensi Revisi Undang-Undang KPK. Upaya revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2012 tentang KPK sebenarnya sudah lagu lama. Tetapi, selalu dimunculkan ketika DPR mendapat sorotan negatif atas kerja pemberantasan korupsi KPK.
Tidak berhenti sampai disitu, Fahri Hamzah, wakil ketua DPR, juga menggadang-gadang penyelenggaraan hak angket. Alasan anggota DPR tanpa partai ini menggulirkan hak angket yakni untuk mempertanyakan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik. Kasus yang juga diduga melibatkan Setya Novanto.
Terlepas dari teror ke penyidik KPK dan nama-nama ‘besar’ yang diduga terlibat, ada satu fakta menarik dari kasus korupsi yang nyaris sempurna ini. Proses perancangan korupsi dimulai dari pembahasan anggaran di DPR hingga pelaksanaannya yang semuanya sudah diatur secara seksama. Para pemenang tender pun sepertinya sudah disiapkan dari awal.
Fakta menraiknya adalah adanya perubahan sumber pembiayaan dari rencana awal yang telah diatur secara seksama. Untuk proyek pengadaan KTP ini, awalnya pembiayaannya diusulkan berasal dari dari pinjaman. Tetapi, akhirnya diubah. Pembiayaan dari APBN murni atau menggunakan uang rakyat. Uang hasil keringat rakyat Indonesia. Disepakati anggaran Rp. 5,9 triyun. Lalu disikat sejumlah Rp. 2,3 trilyun. Pertanyaannya, mengapa sumber pembiayaan itu diubah?
Pinjaman itu Menyusahkan?
Dalam konteks pembiayaan pembangunan di Indonesia, pinjaman menjadi salah satu sumber. Di tengah keterbatasan ruang fiskal pemerintah, pinjaman menjadi penutup defisit anggaran negara. Pinjaman sifatnya bisa unilateral. Misalkan pinjaman Indonesia kepada satu negara, seperti Jepang. Pinjaman juga bisa dari badan-badan multilateral seperti World Bank, Asian Develepment Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB) dan sekarang yang baru muncul Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang digagas negara Cina.
Pinjaman menjadi menarik karena sifatnya tidak komersial, memiliki grace periode yang cukup lama dan tenor puluhan tahun. Bunga pinjaman bahkan di bawah London Inter Bank Overnight Rate(Libor).
Tetapi pinjaman ini tentunya ketat. Pinjaman tidak bisa ‘dimainkan’ karena pihak pemberi pinjaman biasanya memberikan syarat-syarat yang juga ketat. Syarat-syarat ini ditentukan untuk memastikan pinjaman digunakan sesuai tujuan peminjaman. Bahkan World Bank biasanya menyediakan dana hibah untuk melakukan pendampingan pelaksanaan program yang didanai dari pinjaman Bank Dunia.
Terkait susahnya ‘memainkan’ dana pinjaman ini, ada rumor yang beredar di Kementerian Pekerjaan Umum. Kementerian ini, setidaknya dahulu ketika rumor ini beredar, selalu berupaya menggunakan pinjaman sebagai matching fund untuk dana APBN di anggarannya. Pembiayaan pekerjaan Kementerian PU dari APBN murni ditandemkan dengan pinjaman. Anggaran ‘tandem’ tersebut, katanya, pasti tidak akan diotak-atik oleh anggota DPR. Pembiayaan Kementerian PU akan aman dari upaya-upaya menggembosi dana anggaran proyeknya.