Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Gembel, Mimpinya Tidak Seperti Namanya (Bagian 1)

Diperbarui: 12 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gembel, pemuda desa yang ingin mengangkat harkat dan martabat kopi dan petani kopi di kampungnya, Desa Jamur Ujung, Bener Meriah, Aceh Tengah. Sumber: foto pribadi

Kegelisahan melihat kenyataan yang ada di kampungnya, selalu mencuat. Kampung yang berpotensi menjadi sejahtera, ternyata jauh tanda-tanda kemakmuran. Kopi yang seharusnya menjadi sumber kehidupan dan penghidupan, ternyata hanya sebatas membuat para petani untuk bertahan hidup. Hidup dalam kondisi serba kekurangan. Kondisi ini menciptakan nelangsa tersendiri bagi seorang pemuda desa. Namanya Gembel. Begitulah dia memperkenalkan dirinya ketika diwawancara pada Minggu 2 April 2017 di kafe kopinya.

Impian pemuda desa yang dulu kuliah teknik di Universitas Syah Kuala Banda Aceh sederhana saja. Impian itu yakni mengangkat derajat petani kopi di kampungnya ke tempat yang lebih tinggi. Tempat dimana produsen kopi bisa menikmati hasil alamnya dan menyejahterahkan.

Kenyataan yang dilihat Gembel, selama ini para petani selalu berfikir bahwa mereka petani kopi akan selalu miskin. Penyebabnya, usaha kebun kopi lokal yang selalu terikat dengan rentenir. Lalu, para petani yang tidak pernah mengecap bangku sekolah.

Bahkan, dari dulu orang tuanya sendiri selalu pesimis dengan kebun kopinya. “Tidak mungkin kebun kopi dapat menyejahterakan petani”, ujar ayahnya ketika Gembel mengutarakan maksudnya. Tetapi ucapan itu tidak pernah mematahkan semangatnya untuk memuliakan kopi asal daerahnya.

Dulu, kebunnya adalah rawa-rawa. Orang tuanya tanpa putus asa mengubah rawa-rawa menjadi kebun kopi. ‘Jika orang tua kami berani, saya juga harus berani. Jika orang tua kami bisa, saya pasti juga bisa” tegas Gembel.

Menurut Gembel, yang dulu pernah bekerja di NGO internasional pasca tsunami, seharusnya para petani kopi ini bisa merdeka. Lahan punya sendiri. Alat produksi punya sendiri. Bebas, tidak ada beban. Para petani memiliki kedaulatan. Sayangnya, masih menurut Gembel, kenyataan itu tidak bisa berkolaborasi dengan kemakmuran. Kemakmuran tidak kunjung singgah.

Petani memiliki bahan baku, tetapi tidak memiliki akses terhadap uang, terhadap perbankan. Petani kopi juga menanam kopi tanpa impian. Petani sudah tidak selera untuk menanam kopi karena kopi sangat murah. Green Bean premium dijual dengan harga USD 7,5 – 8 per kilogram. Sementara jika diolah dan disajikan di meja menjadi minuman, maka dengan 1 kilogram akan berharga Rp. 800 ribu. Hampir 10 kali lipatnya.

Sayangnya, acapkali karena kubutuhan yang mendesak memaksa para petani menjual kopinya tanpa diolah. Mereka tidak memiliki nilai tawar ketika berhadapan dengan tengkulak.

Hal ini melahirkan pertanyaan yang selalu menggedor relung hati Gembel. Gembel ingin menjembatani petani kopi dengan kepemilikan modal produksi dan kemakmuran itu. Gembel membahasakannya begitu. Posisi ini menempatkan Gembel berseberangan dengan eksportir. Korporasi yang menguasai hidup para petani selama ini.  

Mewujudkan Mimpi

Untuk mewujudkan mimpinya yang telah lama tersimpan, Gembel kembali ke desanya. Meskipun ditawari pekerjaan dengan gaji Rp. 7 juta perbulan, dia menolak. Melihat lahan keluarga seluas dua hektar dengan nelangsa. Tanaman kopi yang tidak menghasilkan, kecuali sepiring nasi yang hanya menyambung hidup. Gembel menggambarkannya ketika pertama kali kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline