Setiap individu hidup dengan individual created reality. Created reality berdasarkan perspektif terhadap realitas pada umumnya, realitas sosial. Terbentukanya realita sendiri ini sangat tergantung kepada nilai, keyakinan, norma, pengetahuan dan pengalaman. Perbedaan antara nilai-nilai di realitas sosial dengan nilai-nilai pribadi menyebabkan timbulnya realitas sendiri. Realitas sendiri pada tahapan yang ekstrim akan menciptakan eksklusivitas.
Eksklusivitas ini sangat berbahaya dalam pengertian jika berkembang pada pandangan bahwa nilai-nilai selain yang dimiliki adalah salah. Nilai-nilai salah ini harus dihilangkan. Pemurnian nilai ini dapat dilakukan secara individual maupun berkelompok.
Pada satu titik, masing-masing individu dengan realitas individualnya mungkin sekali bertemu dengan individu lain dengan pemahaman yang sama. Realitas ini menjadi realitas kelompok (Collective Reality) dan bisa dikatakan sebagai realitas sosial dengan anggota terbatas. Dalam konteks tulisan ini dinamakan realitas kelompok dan sifatnya eksklusif. Kelompok ini bisa terbentuk secara sengaja maupun tidak dari interaksi di berbagai kesempatan, atas kesadaran bersama terhadap nilai-nilai yang dianut.
Dengan berkembangnya media sosial, terjadi ekstrapolasi yang sangat cepat dan masif. Proses ektensfikasi dan intensfikasi dapat dilakukan secara cepat dan tanpa batas. Teknologi memberikan kesempatan besar dan luas tanpa harus bertemu secara langsung. Kebersamaan emosional dapat dibentuk dalam kelompok di media sosial meskipun pertemuan secara fisik tidak terjadi.
Karena, seperti disampaikan di atas, ini terkait perspektif masing-masing individu. Informasi yang disebarkan di antara anggota kelompok ini terbatas dan hanya yang bersifat menyuburkan nilai-nilai yang dianut.
Kesamaan nilai bisa menjelma pada satu individu yang mewakili nilai-nilai tadi. Apabila seseorang menemukan nilai-nilai realitas individu pada satu sosok, maka ada kecenderungan individu tersebut mengidolakan sosok itu. Demikian juga halnya dengan realitas kelompok. Dalam konteks tertentu, sosok ini salah satunya bisa mewujud dalam diri seorang pemimpin, termasuk pada calon-calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017 ini.
Nilai-Nilai Melekat Calon Gubernur DKI
Terlepas dari dukungan para partai pendukung yang mencalonkan seorang tokoh menjadi calon gubernur, masyarakat akan memilih berdasarkan nilai-nilai yang dianut yang terdapat pada sosok calon gubernur. Nilai-nilai individu ini sebangun dengan nilai-nilai yang dimunculkan dalam sosok tersebut. Kemungkinannya, nilai-nilai yang terkandung di sosok tersebut bisa asli atau pun dicitrakan sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan realitas individu dan sosial yang terdapat di masyarakat. Realitas individu dan sosial yang ada di masyarakat yang diyakini partai dan tim pendukung.
Saat ini, setidaknya ada tiga pasangan calon gubernur yang bertarung. Masing-masing pasangan memiliki nilai-nilai yang dipromosikan secara konstan. Calon, bisa jadi, mencitrakan diri sesuai dengan nilai-nilai realitas individu dan sosial masyarakat yang dipersepsikannya.
Agus dipersepsikan sebagai calon gubernur yang gagah, muda, dan tegas. Nilai ini didasarkan pada fakta yang ada pada Agus. Gagah karena Agus masih muda dan mantan militer sehingga diasumsikan tegas. Lalu dikomodifikasi dalam bentuk pesan bahwa pemimpin Jakarta perlu yang muda, gagah dan tegas untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Jakarta. Tim Pendukung dan Agus mempersepsikan realitas sosial masyarakat memiliki nilai-nilai yang disodorkan.
Pada calon dari nomor 2, Ahok dipersepsikan sebagai calon gubernur yang pekerja keras, bersih dan profesional serta sudah terbukti. Semua nilai-nilai yang ditonjolkan tersebut didasarkan pada pengalaman yang sudah dijalankan. Masalah-masalah di Jakarta telah diselesaikan sebagian dan itu hanya bisa terjadi karena gubernurnya seorang pekerja keras, bersih dan profesional. Calon gubernur Ahok dan pendukungnya mempersepsikan nilai-nilai tersebut bersemayam dalam realitas sosial dan individu masyarakat Jakarta.