Dulu sekali, ketika masih kanak-kanak, mamak kami selalu menceritakan suatu kisah tentang sepotong kehidupan binatang, ketika ingin menjelaskan mengapa dia begitu tegas dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Bagi kami dengan pikiran anak-anak, didikan berupa disiplin, ketegasan dan hukuman yang diberikan cenderung kejam.
Mengapa mamak kami selalu memaksa menghabiskan makanan yang tersisa dipiring? Mengapa harus belajar setiap malam jam 07.00-09.00 malam? Mengapa mengharuskan menonton siaran Dunia Dalam Berita setiap jam 09.00 malam? Mengapa mengharuskan makan di rumah dan tidak jajan? Mengapa bapak kami harus membangunkan anaknya di tengah tidur nyeyaknya dan menyuruhnya membersihkan rumput di halaman dalam gelap malam, karena siangnya lupa melakukannya sebab asyik bermain?
Permintaan tidak akan selalu diberikan. Bahkan sangat jarang mamak kami memenuhi permintaan anaknya. Kalau dipikir-pikir kembali, permintaan itu memang sering tidak penting. Permintaan akan sesuatu karena teman memilikinya. Tidak ada kemanjaan yang diterapkan. Semua anak-anak mamakku dianggap sama. Kecengengan bukanlah sesuatu yang harus diladeni. Menangis dan merajuk bukan merupakan sebuah senjata. Jika merajuk atau menangis karena meminta sesuatu, maka sang anak akan dibiarkan menangis dan merajuk hingga anaknya capek atau tertidur.
Masih banyak ketegasan dan disiplin yang dilakukan mamakkudan bapakku untuk memastikan bahwa anak-anaknya tidak melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dan merusak nilai dan norma yang berlaku pada masa itu. Soal menghargai makanan, soal sopan ke orang yang lebih tua, soal disiplin belajar, soal patuh pada orang tua, soal mengerjakan tugas yang diberikan, soal belajar setiap malam dan soal-soal lainnya. Terlebih lagi anaknya banyak.
Cerita itu selalu tentang seekor monyet dan seekor ikan. Dikisahkan di sebuah hutan yang lebat mengalir sungai bening dengan banyak ikan di dalamnya. Seekor ikan, mungkin karena banjir, terdampar di semak-semak di tepi sungai, dekat sebatang pohon. Ikan itu menggelepar. Mungkin berusaha untuk kembali masuk ke aliran sungai. Sayang sekali semak-semak tebal dan lumpur yang cukup lekat menyebabkan sang ikan tidak bisa masuk ke sungai.
Dari atas pohon, seekor monyet melihat kejadian itu. Sang monyet kemudian turun dari pohon dan mengambil ikan itu dan membawanya ke atas pohon. Monyet merasa kasihan. Dengan erat dia genggam ikan itu agar bisa dibawa ke atas. Monyetnya menjaga ikan dan tidak menyakitinya. Akhirnya ikan itu mati. Tentunya, karena rasa sayang monyet yang salah. Kisah monyet dan ikan itu oleh mamakku diberi judul kasih sayang monyet.
Seandainya monyet melemparkan ikan itu ke sungai dengan sekuat tenaga, hidup sang ikan akan berlanjut. Ikan itu hanya akan merasa kesakitan sebentar. Tetapi, ikan itu akan selamat dan bisa hidup lebih lama serta menghabiskan waktu dengan sanak-saudaranya.
Begitulah kisah itu selalu disampaikan mamakku dalam berbagai kesempatan ketika sebuah kesalahan terjadi dan mendapatkan sanksi. Nilai dari cerita itu adalah ketika mamakku melakukan hukuman, semata-mata karena mamakku sayang sama anaknya. Ketika bapakku memaksa belajar setiap malam, karena bapakku sayang sama anaknya. Tidak ingin anaknya tidak disiplin. Anaknya harus memahami nilai-nilai dan norma yang baik. Tidak ingin anaknya memiliki masa depan yang buruk. Dan untuk itulah, sang anak dibangunkan di tengah malam itu dan membersihkan halaman di gelapnya malam. Karena bapakku sayang.
Orangtua Memanjakan Anak
Penerapan dari kasih sayang monyet ini dapat ditemui dengan mudah di masyarakat kita sekarang ini. Banyak berita-berita di media yang menceritakan praktek-praktek model kasih sayang yang salah ini.
Akhir-akhir ini sering muncul berita anak-anak yang masih belum cukup umur mengendarai motor. Mereka hanya tahu cara mengendarai motor, tetapi rendah pemahamannya akan peraturan di jalan raya. Hasilnya, korban tewas anak-anak ini berjatuhan. Kecenderungan ini sangat mengkhawatirkan. Sehingga muncul sebuah petisi di change.org dengan judul Penjarakan Orang Tua Yang Ijinkan Anak Kendarai Motor.