“If anything can go wrong, it will”. Itulah Murphy’s Law. Disebut dengan Murphy’s Law karena dikenalkan oleh Kapten Edward A. Murphy pada tahun 1949. Dia seorang insinyur yang bekerja di NASA untuk sebuah proyek yang meneliti tingkat penurunan kecepatan mendadak yang bisa diterima oleh manusia. Ada yang mengatakan bahwa Murphy’s Law tersebut bukanlah murni milik Edward Murphy. Dia hanya menyebutkannya saja dan sejak itu menjadi terkenal dengan sebutan Murphy’s Law.
Apa sebenarnya makna dari Hukum Murphy itu? Jika dipahami dengan benar, sebenarnya ini terkait dengan kodrat atau hukum alam. Hukum itu mengatakan bahwa jika bisa salah, maka akan salah. Lebih lanjut bisa dikatakan bahwa jika sudah salah di awal, maka berikutnya akan terjadi kesalahan. Sesuatu yang salah jika dilakukan maka akan bisa salah dan merugikan. Jika salah dan tidak mengikuti hukum alamnya, maka akan terjadi kesalahan. Kurang lebih begitulah makna dari hukum tersebut. Sederhananya, jika kita melakukan kesalahan jangan berharap tidak akan dihukum.
Sebenarnya, jika para pejabat memahami dengan baik Hukum Murphy ini, maka tidak akan terjadi kesalahan yang berakibat pada tindakan-tindakan yang salah. Korupsi, jika kita mau mengambil contoh. Masih adanya anggapan bahwa tertangkap tangan melakukan korupsi itu adalah sebuah cobaan, maka dipastikan orang tersebut tidak memahami hukum ini dengan benar. Tindakan salah yang dilakukan tidak mungkin menghasilkan sesuatu kebaikan. Ditangkap dan dipenjara karena melakukan tindakan korupsi merupakan sesuatu yang alami, yang mengikuti Hukum Murphy tersebut.
Dalam melakukan pelayanan publik seharusnya menerapkan makna yang terkandung dalam hukum itu. Pelayan publik sudah disumpah untuk melakukan pekerjaannya demi kepentingan publik. Jika dilakukan demi kepentingan pribadi atau golongan, tentunya ini sudah menyalahi Hukum Murphy. Mengembalikan manfaat pajak sebesar-besarnya kepada pemberi pajak, tanpa mengambil sedikitpun pajak yang dibayarkan oleh masyarakat, adalah penerapan Hukum Murphy.
Masih banyak yang bisa disajikan untuk contoh dari penerapan Murphy’s Law dalam pelayanan publik. Di Jakarta setidaknya selama 2 tahun terakhir ini, bisa dikatakan pemerintah telah menerapkan Murphy’s Law ini.
Merampas Hak Sungai
Menempati wilayah pinggiran sungai dengan batas 50 meter sempadan sudah menyalahi aturan alamiahnya. Dalam konteks Hukum Murphy, pada intinya menempati bantaran sungai sudah salah dan hasilnya pasti salah.
Kita telah menyaksikan betapa banjir melanda kawasan di Jatinegara. Ini diambil sebagai satu contoh saja. Banyak masyarakat menempati lahan-lahan di pinggir kali. Kali menjadi sempit. Selanjutnya, masyarakat membuang sampah ke kali. Ini kesalahan ikutan berikutnya. Sungai mengalami penyempitan dan pendangkalan. Kesalahan berikutnya adalah banjir melanda. Banjir yang datang secara teratur dan terjadwal pasti. Kesalahan berikutnya banjir yang berulang berujung pada rakyat tetap miskin. Sebab setiap hasil upayanya dirampas kembali oleh banjir.
Sungai seharusnya memiliki lahan untuk bernafas. Aturan alamnya adalah kurang lebih 100 meter di sisi kiri dan sisi kanan. Sungai memiliki masa pasang naik dan pasang surut. Memang tidak seperti laut yang bisa dilihat pasang naik dan pasang surutnya setiap hari. Sungai mengalami pasang naik dan pasang surut sesuai dengan musimnya. Di Indonesia, sebelum terjadinya perubahan iklim yang ditengarai akibat pemanasan global, pasang naik akan terjadi pada musim hujan dan pasang surut pada musim kemarau.
Kawasan ini harus dibebaskan. Kawasan ini menjadi wilayah bernafas sungai dan hak sungai yang tidak boleh diambil. Jika diambil, maka ini akan menjadi sebuah kesalahan yang berbuntut kesalahan berikutnya, setidaknya seperti dijelaskan di atas.
Tetapi ada juga yang mendebat ini. Setidaknya dengan adanya penataan sungai yang dilakukan oleh Romo Mangun di Kali Code Yogyakarta. Menata sungai dengan membiarkan pengambilan wilayah sempadan sungai, secara hukum alam sudah salah. Memang, sampai saat ini belum terjadi akibat dari kesalahan di awal. Tetapi semakin hari, tekanan terhadap kawasan itu semakin berat karena dianggap tidak melakukan kesalahan, maka pertambahan beban berupa permukiman meningkat.
Pemanfaatan daerah bibir sungai yang sangat eksploitatif membuat daerah tersebut rentan terhadap bencana banjir dan longsor. Pertambahan penduduk juga menambah tekanan pada wilayah pinggir sungai. Penghuni yang membangun rumah dengan bahan seadanya karena memang mereka pemukim liar, juga menambah tingginya kemungkinan kesalahan berikutnya terjadi.