Cerita tentang warung Tegal dalam riak-riak pemilihan kepala daerah di DKI mungkin tidak aktual lagi. Akan tetapi tetap menarik untuk melihat bagaimana para kandidat memanfaatkan citra warteg yang merakyat untuk kepentingan terkait Pilkada.
Warung Tegal (disingkat warteg) pastinya suatu tempat yang sangat umum bagi kebanyakan masyarakat ibu kota. Mungkin sebagai pelanggan tetap atau bisa juga karena akhir-akhir ini warteg menjadi terkenal.
Warteg memiliki kesan yang melekat dengan masyarakat kelas bawah. Warteg menyediakan kebutuhan pangan bagi kalangan pekerja kasar dan buruh, sebagai gambaran masyarakat kelas bawah. Warung makan yang digambarkan berpihak kepada rakyat karena harganya yang relatif terjangkau bagi kalangan berpenghasilan rendah. Disamping harga yang murah, rasanya yang sesuai lidah menjadi salah satu pencetus dari tingginya minat para konsumennya terhadap kehadiran warung tegal ini. Sehingga keberadaanya menempati banyak ruang di kota-kota.
Warteg biasanya terletak di gang sempit yang padat, di atas selokan dan di lingkungan yang banyak pekerja kelas rendahan. Biasanya yang menjadi pelanggannya adalah sopir bajaj, buruh, pekerja kasar dan kelompok blue collar workers lainnya. Meskipun tidak dipungkiri ada kadang-kadang dari pekerja kelas menengah dan atas yang juga makan di warung ini.
Kenikmatan lain yang bisa didapatkan dari makan di warteg ini adalah suasananya yang jujur. Penjualnya tidak menyembunyikan segala jenis makanan yang dijual dalam bentuk menu. Semua tersaji dalam tempat-tempat yang disusun rapi di dalam sebuah etalase. Jenis makanannya beragam dan memenuhi berbagai selera; yang digoreng, direbus, dibakar tersedia untuk kenikmatan para pelanggan. Cara makan juga bebas. Gaya kaki naik ke kursi kayu panjang, memakai celana pendek dan kaos dalam, memakai sandal buluk, diterima dengan baik.
Harga yang murah dan pelanggan yang berasal dari pekerja kasar menjadikan warteg identik dengan kesederhanaan dan kemiskinan. Meskipun pada kenyataannya pengusaha-pengusaha warteg adalah orang-orang yang dianggap berhasil di desanya bahkan secara umum. Di Jakarta mereka bekerja keras sedemikian rupa dan di desanya mereka memiliki harta yang banyak, termasuk rumah mewah dengan kisaran harga Rp 500 juta hingga Rp 1 milliar seperti dirilis tempo.co pada 28 Maret 2015.
Kesederhanan, kemiskinan, ketidakberdayaan, rakyat miskin, kotor, tidak sehat dan masih banyak lagi kata-kata yang relatif bersifat marjinal yang sering dilekatkan dengan warteg, meskipun bisa jadi tidak semuanya benar. Ini hanya kesan umumnya saja. Working class society identity, identitas masyarakat bawah.
Dengan status dan citra yang melekat, ternyata warung tegal memiliki peran yang cukup penting dalam dunia politik, setidaknya di pilkada DKI Jakarta. Gejala bermula setidaknya ketika Pilkada DKI yang diikuti oleh Joko Widodo di tahun 2012.
Penampilan makan di warteg ini dilakukan oleh Joko Widodo. Dalam satu kesempatan, Jokowi dan Ahok makan siang di salah satu warteg dalam rangka blusukan untuk berkampanye. Mereka kelihatan nyaman bergaul dengan rakyat miskin di warteg. Hasilnya Jokowi dan Ahok terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI pada periode 2012-2017.
Pola yang sama dilakukan juga oleh para kandidat Pilkada 2017. Makan di warteg menjadi salah satu cara untuk mendapatkan citra yang baik. Bisa jadi ini terilhami oleh kemenangan Jokowi pada 2012 yang sering melakukan kampanya di kampung-kampung dan makan di warteg.
Para kandidat yang bertarung berusaha menjaring suara rakyat kecil dan miskin dengan harapan memenangkan pertarungan. Menjaring suara rakyat miskin ini dilakukan salah satunya melalui kampanye terbuka dengan melakukan ritual makan di warteg. Dengan mengunjungi warteg dan menunjukkan makan lahap, mereka ingin memberikan kesan tentang diri mereka bahwa mereka berpihak dengan rakyat kecil, akan memperhatikan rakyat kecil, tidak malu-malu bergaul dengan rakyat kecil dan tidak akan menyakiti rakyat kecil melalui program yang menyengsarakan rakyat kecil.