Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Bocah Ponari, Bunga Anthurium, Batu Akik, dan Reklamasi Jakarta

Diperbarui: 24 April 2016   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: print.kompas.com"][/caption]Tentunya masih ingat Ponari, namanya terkenal beberapa waktu yang lalu, sekitar tahun 2009. Ponari dipercaya memiliki kesaktian menyembuhkan berbagai jenis penyakit dengan air yang dicelupi batu saktinya. Pasien yang datang beraneka ragam mulai dari sakit berat seperti stroke, asam urat, lumpuh, hingga penyakit ringan. Banyak yang mengunjunginya dan mengharapkan kesembuhan. Masyarakat kita ternyata banyak yang sakit. Apalagi waktu itu tidak ada yang namanya BPJS. 

Jadi, harapan untuk kesembuhan berbagai penyakit digantungkan kepada bocah Ponari. Maka jadilah Ponari diburu puluhan ribu orang yang berharap kesembuhan. Bahkan, sejumlah pengunjung jatuh pingsan dan tewas terinjak-injak pengunjung lain, demi segelas air yang telah dicelupi batu Ponari.

[caption caption="Sumber: otdohmen.com"]

ohdotnem-dot-com-571c5954799373fb043a0aab.jpg

[/caption]Kisah kehebohan lainnya adalah fenomena anthurium. Penjualan anturium mengalami lonjakan yang tidak masuk akal pada tahun 2006-2007. Bunga yang sebenarnya sangat biasa ini, tiba-tiba menjadi fenomena, laku keras. Harga penjualan pernah mencapai rekor hingga 200 juta rupiah. Dalam tempo singkat, penjualnya meraup untung. Harga yang tinggi berhasil ditetapkan. Iklan dari mulut ke mulut berlangsung terus hingga terbentuk satu impresi bahwa anturium adalah bunga yang mahal dan layak dimiliki. 

Pembeli antri untuk mendapatkan anturium ini bahkan dengan harga berapa pun, untuk dijual kembali, menjadi alat investasi. Ide-ide dimainkan di benak masyarakat Indonesia, para pembeli dan calon pembeli. Dengan harga yang terus naik, maka penjualan anturium digaungkan menjanjikan. Media ikut-ikutan menambah kehebohan. Harga meninju langit. Ketika kemudian semua orang sudah memilikinya, tiba-tiba bunga itu tidak ada lagi harganya. Masyarakat kecewa. Mereka ikut berpesta tetapi tidak ikut menikmati kesenangannya. Pesta usai, pembeli merugi.

Setali tiga uang dengan dua kisah di atas, fenomena batu akik juga begitu. Ketika media mulai memberitakannya dan segala bumbu yang dilekatkan padanya, maka banyak orang yang ingin memilikinya, sebagai sumber pendapatan juga sebagai investasi. Di setiap sudut kelihatan orang-orang menggosok-gosokkan batu ke celananya. Pusat-pusat penjualan batu akik tiba-tiba menjadi tempat favorit. Tiba-tiba nama-nama batu muncul lengkap dengan ceritanya. Tiba-tiba banyak yang menjadi ahli batu akik. 

Pertengkaran masyarakat di Aceh terjadi karena perebutan batu akik jenis giok, terjadi. Cerita-cerita juga berkembang di masyarakat. Batu-batu akik ini juga dikabarkan memiliki bermacam kemampuan. Masyarakat kembali tertipu, harga mahal hanya berlaku sekejap. Janji keuntungan yang sebelumnya akan diraup, hilang ditelan angin.

Semua fenomena di atas melanda masyarakat miskin, menengah, kaya dan berpendidikan, di desa dan di kota. Pada semua kasus di atas, ada orang-orang yang bergerak di belakang layar untuk memainkan emosi massa.

Sering sekali orang-orang Indonesia juga hanya ikut-ikutan, tanpa mendalami dulu duduk perkaranya, yang berujung pada munculnya sebuah ‘kehebohan’, yang selanjutnya akan menarik lebih banyak orang lain. Orang Indonesia juga senang sekali mendapatkan sesuatu dengan cara yang cepat, senang mendapatkan hasil tanpa perlu melibatkan proses; dengan cara instan. Proses dipercayai sebagai suatu yang sulit, rumit dan membutuhkan waktu. Mengeluarkan keringat bukanlah kesenangan masyarakat Indonesia.

Pertanyaannya adalah mengapa begitu mudahnya masyarakat kita bersikap menerima sesuatu begitu saja tanpa ada proses analisisnya, terlebih bila itu menyangkut rejeki yang menjanjikan? Apabila ada cerita mendapatkan kenikmatan tanpa proses yang rumit dan berkeringat, masyarakat Indonesia akan dengan mudah terperdaya.

Untuk menjawab pertanyaan, penulis melihat kepada beberapa pendapat ahli berdasarkan pengamatan empiris mereka dalam jangka waktu yang lama. Pendapat mereka atas karakteristik masyarakat Indonesia ini, sedikit banyaknya bisa menjelaskan munculnya fenomena-fenomena seperti diceritakan di atas.

Mochtar Lubis (1977) dalam bukunya Manusia Indonesia, sedikit banyaknya bisa memberikan gambaran. Di bukunya Mochtar Lubis menyatakan karakter yang melekat di manusia Indonesia. Dari 6 sifat yang diamati, ada 5 setidaknya yang berkontribusi, yaitu 1) munafik atau hipokrit; 2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya; 3) masih percaya pada takhayul; dan 4) lemah dalam watak dan karakter.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline