Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Menakar Ahok: Ahok Mencuci Partai Politik [Bagian 3]

Diperbarui: 30 Maret 2016   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: korannonstop.com"][/caption]

Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dengan pekerjaan yang dilakukan Ahok. Ahok hanya ingin melakukan sumpah yang diucapkan ketika dilantik menjadi gubernur Jakarta. Hanya itu, melayani masyarakat Jakarta dengan pelayanan publik yang berkualitas. Sangat biasa, bukan?

Masalahnya justru disitu. Dibutuhkan sumber daya yang mumpuni untuk melakukan pekerjaan sederhana itu. Sumber daya yang sama dengan Ahok tentunya. Para pelayan publik yang benar-benar melayani. Sederhana juga, bukan? Pelayanan publik yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ini seturut dengan nilai-nilai yang dianut Ahok dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pelaksana pelayanan publik.
Tetapi untuk memunculkan mereka- pelayan publik berkualitas- ke permukaan, terpaksa Ahok membuat ‘pusaran’ keras di ‘kolam’ pemerintah daerah Jakarta. Tujuannya untuk memunculkan mereka yang bisa bekerja, menganut nilai-nilai pelayanan publik Ahok dan memiliki semangat yang linier dengan sang gubernur. Para pegawai pemerintah daerah yang militan untuk menjalankan pelayanan publik prima.

Dalam bahasa akademisnya Ahok melakukan reformasi administrasi. Reformasi administrasi ini memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Sejalan dengan Yehezkel Dror (1970) seorang pakar Administrasi Publik, menyatakan diperlukan staf dengan kualitas tinggi untuk melaksanakan strategi reformasi administrasi yang konsisten.

Seturut dengan hal di atas, beberapa pelayanan publik yang diperbaiki, menunjukkan hasilnya. Banyaknya masyarakat puas dengan kepemimpinan Ahok dan kinerjanya, membuat Ahok tetap menatap lurus dengan cita-citanya. Semangat Ahok berkelindan dengan keinginan rakyat Jakarta untuk Jakarta yang lebih baik. Sayangnya tidak semua memberikan respons positif untuk cita-cita mulia Ahok ini. Kemungkinan terbesarnya upaya bersih-bersih yang dilakukan Ahok menutup rejeki ‘curang’ para penentangnya.

Para penentang di internal pemerintah daerah ini dan ditenggarai memiliki jaringan dengan DPRD dan berujung pada partai politik yang ‘bermain’ di Jakarta. Akhirnya banyak yang bersatu untuk melakukan upaya-upaya mengalahkan Ahok di pilkada berikutnya. Bahkan secara masif masih menyerang setiap kebijakan yang diambil Ahok. Para penentang ini tidak pernah berbicara tentang program, tetapi kejelekan Ahok. Ini tidak berimbas banyak kepada masyarakat Jakarta yang menyukai pelayanan publik Ahok sehingga tidak memberikan dampak yang serius kepada dukungan terhadap Ahok dan program-programnya. Jalan lurus dan bersih, itulah pilihan Ahok.

Selaras dengan hal di atas, karena Ahok memang ingin melaksanakan pekerjaannya dengan cara yang benar, tidak menghamba dan berupeti kepada partai, Ahok dengan gagah berani memutuskan mencalonkan untuk Pilkada DKI Jakarta lewat jalur perseorangan. Dengan dukungan yang sangat kuat dari Teman Ahok dan masyarakat pendukung yang hingga kini mencapai 800 ribuan. Lebih baik maju perseorangan daripada lewa partai yang sangat ‘bersyarat’. Syarat calon perseorangan terpenuhi. Ini menggusarkan banyak partai.

Ternyata nilai-nilai kerja Ahok ini tidak sejalan dengan sistem nilai partai. Banyak partai yang masih menjadi permasalahan, karena sistem nilai partai yang cenderung tidak menguntungkan masyarakat. Kebiasaan mengajukan calon partai yang dipilih partai, sering sekali tidak sesuai dengan pilihan rakyat, masih menjadi praktek standar partai. Ujung-ujungnya, para penguasa ini sibuk melayani ‘nafsu’ partai dan ketua partai. Di Indonesia sendiri, partai masih banyak dikendalikan para penguasa partai, oleh karena karisma maupun dana besar yang dibawa oleh ketua partai. Partai adalah mesin yang bekerja untuk kepentingan partai itu sendiri. Kepentingan rakyat hanya semanis di mulut pada masa jelang pilkada dan pemilu serta pemilu daerah. Setelah itu, rakyat ‘dibekok’.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kemitraan (2011), menyatakan hal yang masih menonjol dengan partai adalah: (i) partai politik tampil sebagai saran memobilisasi warga, tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingnan warga, (ii) lebih fokus pada upaya mencari dan mempertahankan kekuasaan baik di dalam internal partai maupun dalam lembaga legislatif dan eksekutif melalui pemilihan umum, (iii) porsi kegiatan, waktu dan dana, mencari dan mempertahankan kekuasaan jauh lebih besar daripada kegiatan yang berorientasi pada kebijakan pbulik, (iv) pengelolaan partai politik masih lebih banyak berdasarkan keputusan pengurus di bawah kepemimpinan yang sentralistik, oligarhik dan personalistik, (vi) sumber keuangan partai bukan dari pendukung loyalis partai tapi dari anggota partai yang ada di DPR dan eksekutif (self financing elites), para pengusaha tertentu yang ingin mendapatkan dukungan proyek (external-financing elites) dan tindakan kolutif (cartel parties).
Bisa kita lihat, nilai-nilai yang dianut Ahok berseberangan jauh dengan nilai-nilai partai-partai. Dengan nilai-nilai yang diterapkan Ahok yang berimbas pada reformasi administrasi sangat bertentangan dengan fenomena yang ada dalam kepartaian di Indonesia. Partai di Indonesia memiliki realitas dan kepentingan tersendiri.

Kenyataan di atas seturut dengan pemikiran Roderick T. Groves (1971) dalam jurnalnya yang berjudul Administrativve Reform and Political Development. Dia mengatakan, “Parties generally look to political patronage to maintain their unity and expand their appeal and this brings them into conflict with administrative reform efforts that emphasize recruitment, selection and promotion of personnel by merit. Semangat partai-partai berseberangan dengan reformasi administrasi yang dilakukan Ahok yang hendak memberikan pelayanan publik yang paling hakiki: menempatkan masyarakat pada tingkat tertinggi melalui pelayanan publik yang berkualitas.

Reformasi administratif akan sangat dihindari partai karena pola client-patronage yang ada. Partai akan berfungsi sebagai ‘penguasa’ yang melindungi mereka yang merasa terganggu dengan perubahan yang terjadi di dalam sistem pemerintahan. Ini terjadi juga di pemerintahan provinsi Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline