Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Menakar Ahok: Kinerja Ahok Membuat Hati Meleleh [Bagian 2]

Diperbarui: 21 Maret 2016   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ahok dan Masyarakat yang Dilayaninya. Sumber: islamnkri.com"][/caption]Sebanyak 250.000 pekerja kontrak Pemda Jakarta akan mendapatkan jaminan kesehatan. Iuran 5,7% dari gaji dibayarkan oleh pemerintah Jakarta. Pembayaran jaminan kesehatan ini dianggarkan di APBD. Tidak ada potongan dari gaji para pekerja tersebut yang sudah menerima Upah Minimum Regional Jakarta.

Dengan ikut kepersertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ini, maka jika seorang pekerja sakit, BJPS yang akan bertanggung-jawab membiayai seluruh biaya pengobatan tanpa batas maksimum. Jika pekerja meninggal, anak-anaknya mendapat beasiswa dan santunan kematian hingga Rp. 24 juta.

Begitulah berita Harian Kompas tertanggal 17 Maret 2016. Pembayaran jaminan kesehatan pekerja kasar tersebut merupakan inisiatif dari Gubernur Jakarta. Para pekerja lepas tersebut merupakan pekerja harian yang bekerja sebagai tukang sapu jalan, penggali kubur dan pekerja PPSU – Penanganan Sarana dan Prasarana Umum. Para pekerja lepas ini sangat gembira dengan kebijakan Ahok ini. Uang gaji yang utuh mereka terima dan tunjangan kesehatan serta tunjangan-tunjangan lainnya yang membuat hidup mereka menjadi lebih mudah. Sungguh nikmat mereka rasakan.

Itu merupakan sebagian kecil unjuk kinerja Gubernur Ahok. Cerita mengenai perbaikan-perbaikan yang dilakukan Ahok sudah banyak diceritakan media, baik cetak maupun online. Kinerja yang ditunjukkan Ahok ini tentunya bukanlah sesuatu yang mudah dan terjadi begitu saja dalam waktu yang singkat. Pencapaian ini penuh dengan perjuangan menghadapi perlawanan yang muncul. Kita bisa melihatnya sejenak ke belakang.

Ahok dan Jokowi, yang terpilih pada pilkada Jakarta tahun 2012, langsung bekerja. Pasangan ini menerima limpahan pekerjaan dari gubernur sebelumnya, dan juga masalah tentunya. Masalah di Jakarta sebagai ibukota negara sangatlah banyak.

Untuk melihat kinerja Ahok, yang juga menerima limpahan dari Jokowi, kita menggunakan pedekatan Input Process Output. Hal ini digunakan untuk melihat bahwa yang dikerjakan Ahok menunjukkan kinerja yang luar biasa. Permasalahan dan kerumitan yang diwariskan gubernur sebelumnya sebagai input, program dan kerja Ahok mengatasinya sebagai proses dan capaian sementara ini sebagai output. Sebagian dituliskan.

Aspek input dilihat dari kondisi yang diterima oleh Jokowi—Ahok setelah memenangkan Pilkada Jakarta tahun 2012. Jika ditanyakan kepada para penduduk Jakarta kira-kira apa yang menjadi masalah yang menonjol di Jakarta, maka dengan mudah mereka menyebutkan masalah utama di Jakarta, yakni kemacetan, banjir, transportasi yang semrawut,

penyerobotan lahan, kemiskinan, kekumuhan dan tingkat kejahatan yang tinggi. Kemudian jika diulik lagi, kira-kira apa yang mengakibatkan terjadinya setidaknya masalah-masalah di atas, maka akan muncul fakta; mentalitas pejabat yang buruk, pemalas, tingkat korupsi ekstrim, kolusi dan nepotisme yang tinggi serta pejabatnya yang santun tetapi ‘sikat kiri-sikat kanan’. Akrobat para pejabat ini sering sekali berkelindan akrab dengan minat dan kekuasaan yang dimiliki oleh DPRD. Belum lagi benturan kepentingan karena banyak pejabat yang berkuasa dan pemilik bisnis raksasa, petinggi-petinggi partai yang secara hirarkis dan ‘hirarkirs’ lebih tinggi dari gubernur, berada di Jakarta. Itulah ‘modal awal’ yang harus diterima Jokowi-Ahok. Modal yang benar-benar minus.

Pada aspek proses, yang paling menonjol adalah pola kerja micro management yang diterapkan Jokowi dan didukung Ahok. Pimpinan harus tahu di kondisi di lapangan. Sistem ‘ABS’ sudah tentu tiba-tiba menjadi usang dan tidak berguna di era Jokowi-Ahok ini. Turun ke lapangan yang dikenal dengan istilah blusukan merupakan metode jitu yang diterapkan. Ini perlu untuk memetakan kondisi lapangan dan membandingkan dengan kondisi administratifnya. Ternyata banyak sekali laporan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Staf pemerintah banyak yang malas dan hanya mengandalkan kekuatan ‘lobby’ untuk menyelesaikan pekerjaan. Keputusannya adalah babat semua staf yang curang, malas dan tidak berkinerja ataupun tidak menunjukkan berpotensi berkinerja.

Selanjutnya, diperlukan modalitas pendanaan yang cukup untuk membiayai program-program yang dijalankan untuk mengatasi masalah yang disebutkan sebelumnya. Tentunya modalitas itu ada di APBN yang dikerahkan dari kekuatan finansial Jakarta.

Darimana sumber finansial untuk membiayai itu. Tentunya dari ‘uang siluman’ yang tidak jadi siluman. Dari biaya ‘lobster’ yang tidak jadi dibeli. Dari tunjangan dinas yang tidak jadi naik. Penghapusan upeti—upeti yang selama ini merusak. Dari efisiensi yang dilakukan oleh Jokowi-Ahok, meskipun penyerapan APBD rendah. Dari menghilangkan jabatan wakil lurah dan lebih dari 1500 jabatan di Pemda DKI Jakarta. Dari penghentian pemborosan anggaran yang dilakukan oleh aparat pemerintah sebelumnya. Dari bersinergi dengan para pejabat jujur dan bekerja keras yang dilakukan dari proses yang keras pula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline