“Every Coin Has Two Sides”. Begitu katanya.
Kesegaran tiba-tiba menyergap ketika kaki-kaki telanjang kami menyentuh permukaan air yang dingin. Air sungai itu mengalir tenang, bening dengan nuansa kehijauan di dasarnya. Menentram tubuh kami yang berkeringat. Udara ringan dan dingin. Kuhirup udara itu dalam-dalam. Aku penuhi paru-paruku dengan udara bersih yang berasal dari pohon-pohon hijau lebat di hutan Jantho di Aceh Besar itu. Mengusir kuman-kuman di paru-paru kami yang selama ini terpapar polusi perkotaan.
Suara burung dan desau pepohonan ketika ditiup angin menciptakan irama alam harmonis yang melenakan jiwa. Kelihatan di kejauhan di pohon-pohon besar, monyet-monyet liar bergelantungan. Burung-burung beterbangan dari satu ranting ke ranting yang lain. Sepertinya memperhatikan kami yang heboh dengan keindahan yang tersaji di depan mata kami. Kami seperti menemukan sesuatu yang luar biasa. Keindahan, hijau yang lebat. Udara yang segar. Sungai bening yang mengalir tenang. Semuanya membuat kami tidak sabar untuk menceburkan diri ke dalamnya.
Tetapi, itu semuanya telah berlalu.
Ada yang berkisah. Dulu hutan itu hijau. Dulu, ketika perjanjian perdamaian antara pemerintah Indonesia dan gerakan aceh merdeka belum tercapai. Konflik yang terjadi antara gerakan separatis Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia di provinsi Aceh telah berlangsung lama. Hampir mencapai 30 tahun ketika perjanjian itu di tanda-tangani di Helsinki. Konflik ini secara tidak sengaja membagi wilayah demarkasi menjadi dua. Gunung-gunung dan hutan menjadi wilayah kaum gerakan aceh merdeka dan di luarnya menjadi wilayah tentara Indonesia. Dan, secara otomatis tidak ada yang berani untuk menyeberangi garis demarkasi itu. Menjadi sebuah peraturan yang tidak tertulis.
Tidak ada yang naik ke atas untuk mengambil kayu. Dan tidak ada yang turun dari atas membawa kayu tebangan untuk dijual ke masyarakat. Jika ada yang masuk ke hutan untuk mengambil kayu, maka akan berhadapan dengan pasukan-pasukan gerakan aceh merdeka. Mereka bersembunyi di hutan-hutan dan sepertinya menjadi penguasa hutan. Jika dari antara mereka anggota gerakan aceh merdeka berani menebang kayu dan berusaha menjualnya ke penduduk, maka di luar hutan mereka akan berhadapan dengan tentara Indonesia.Tidak ada yang berani ke hutan mengambil kayu dan tidak ada yang berani turun membawa kayu tebangan dari hutan. Alam menang. Hutan lestari. Air sungai bening. Keindahan terjaga. Udara bersih berhamburan. Burung-burung bernyanyi. “Every cloud has silver lining” Begitulah kira-kira menggambarkan keadaan ini. Bersengketa tetapi mendamaikan.
Perjanjian tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki itu, telah membawa perubahan yang besar bagi pemerintah Indonesia dan gerakan aceh merdeka. Konflik, yang mengakibatkan hampir 40.000 orang menjadi korban dan berlangsung hampir 30 tahun, usai sudah. Banyak masyarakat yang menjunjung tinggi pemerintah Indonesia yang mau secara terbuka untuk berdamai dengan gerakan aceh merdeka, meskipun ada yang mengatakan bahwa pemerintah Indonesia merendahkan dirinya ketika berdamai dengan gerakan aceh merdeka. Karena dari segi apapun kaum gerakan aceh merdeka kalah dari negara Indonesia. Keputusan telah diambil dan perdamaian ditanda-tangani demi kebaikan semuanya. Tetapi kebaikan pemerintah Indonesia ini seharusnya tidak boleh digunakan untuk mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok. Perjanjian damai ini dalam banyak tempat sangat dipuja-puji masyarakat internasional.
Bahkan seorang kawan disana mengatakan.”Saya akan cium kaki SBY, kalau saya ketemu beliau”. Sebuah ungkapan tulus yang sangat bermakna. Ketika ketakutan segera sirna dari ubun-ubun begitu perjanjian tersebut ditanda-tangani. Perjanjian yang benar-benar tanpa catatan. Semua kesepakatan disepakati bersama. Semuanya harus sepakat dengan kesepakatan yang dibuat. Dikarenakan itu jugalah, maka Mr. Martti Ahtisaari, selalu mengatakan ”Nothing is agreed until everything is agreed!”.
Selanjutnya, perubahan besar itu membawa banyak kesempatan. Menciptakan peluang-peluang. Dan peluang-peluang itu dimafaatkan para oknum yang melihatnya. Dengan terjadinya perdamaian itu, garis demarkasi di hutan Jantho dan hutan-hutan lainya itu pun hilang dengan segera. Keluar masuk hutan menjadi bebas dan tidak ada lagi penguasa-penguasa. Siapa saja bisa ke atas dan siapa saja bisa ke bawah. Dan mereka ke atas membawa gergaji mesin, traktor dan truk dan buldozer. Dan ke bawah mereka membawa kayu-kayu bulat yang ditebang dari hutan-hutan itu. Perlahan tapi pasti hutan itu gundul. Dan sepertinya itu terjadi di banyak kawasan hutan di Aceh. Hutan-hutan gundul itu tidak lagi berdaya melakukan tugas mulianya. Menjaga alam tetap seimbang, menjaga kemurnian alam. Batang-batang telah direbahkan. Air mengalir dengan lancar ke sungai-sungai. Aliran-aliran meninggi dan menderas, menghantam apa saja yang ada di depannya.
Pemandangan yang tersaji sekarang sudah sangat berbeda dengan pemandangan lima belas tahun lalu itu. Pohon-pohon yang hijau rimbun telah hilang. Jejak-jejak jalan setapak yang dulu dilalui para pencari keindahan di hutan telah hilang dan berubah menjadi jalan tanah lebar yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Pohon-pohon telah menjorok masuk lebih jauh ke dalam hutan. Suara-suara hutan yang dulu sangat sering menemani para penjelajah sudah digantikan oleh suara-suara gergaji mesin. Gergaji-gergaji itu sahut menyahut dari segala arah penjuru angin. Berlomba-lomba menghantam pohon-pohon dengan gerigi-geriginya yang tajam. Perlahan tapi pasti, tubuh-tubuh pohon raksasa itu berjatuhan. Membuka celah bagi cahaya matahari yang lebih melimpah. Menimbulkan panas, gersang. Menyingkirkan kesejukan yang dulu selalu setia menemani.
Kawasan hutan yang dulu lebat itu telah berubah menjadi gersang. Sejauh mata memandang hanya barisan batang-batang pohon yang sudah terpotong. Batang-batangnya sudah dicabut. Jejak sungai yang dulu bening kehijauan kini berubah menjadi coklat. Ribuan kubik tanah mengalir masuk ke sungai. Dasarnya menjadi dangkal dan mengurangi kemampuannya menyimpan air yang datang berlimpah di musim hujan. Semuanya berubah. Semuanya menjadi tidak ramah lagi. Bahkan mereka-mereka yang dengan gergaji mesinya kadang mempertanyakan tujuan para pencari keindahan di hutan. Termasuk kami yang ingin melihat kembali sungai indah itu.