Namaku Rinjani
Sudah aku kenalkan di tulisan sebelumnya
Aku tinggal di pedesaan
Kehidupan malamnya sangat sepi, jauh dari hingar-bingar perkotaan
Kehidupan aktif dimulai saat subuh
Saat adzan berkumandang sampai sore hari adzan maghrib
Setelah itu desa kami akan menjadi sepi sepoi-sepoi berteman angin malam
Kali ini aku mau bercerita tentang kehidupan desaku
Kalian bisa menyebutnya seni hidup atau budaya hidup
Di desa kamu
90% penduduknya menggantungkan roda kehidupan pada pertanian
Maka seni cocok tanam di desa kami sudah turun-temurun dari nenek moyang
Mulai dari teknik pertanian sampai sendi-sendi kehidupan pertanian
Di desa kami
Karna adat Kejawen masih sangat kental
Maka sebelum bercocok tanam sudah harus menetapkan tanggal
Hari yang pas untuk bercocok tanam harus dihitung sesuai tanggalan Jawa
Salah satunya harus menghindari hari paten/hari pati
Yakni bercocok tanam tidak sama dengan hari kematian orang yang kita sayang terutama orang tua
Nanti biasanya di pojok-pojok sawah akan diberikan semacam sesajen
Ada kembang, ada telur, ada wewangian di taruh ditiap pojok sawah
Untuk menjaga sawah dari balak hingga panen
Sebelumnya aku katakan bahwa kehidupan aktif kami mulai subuh sampai dengan maghrib
Pagi-senja semua orang berbondong-bondong ke sawah
Tapi tahukah kalian?
Saat adzan Dhuhur berkumandang semua orang berbondong pulang kerumah
Mandi dan mensucikan diri
Kemudian berangkat ke mushala/masjid atau minimal shalat dirumah
Itu adalah rutinitas harian warga desa
Apa yang aneh dari cerita ini?
Sebagai muslim
Kita diajari bahwa syirik-musrik itu dilarang dalam agama
Tapi disatu sisi semua warga desaku adalah orang-orang yang rajin ibadah
Ini adalah persoalan akulturasi agama yang sudah terikat ratusan tahun yang lalu
Semenjak Kejawen berkolaborasi dengan agama Hindu dan hadirnya Wali songo ditanah jawa