Menulis tentang politik memang riskan dan memusingkan. Apalagi dengan perlakuan para elit yang belakangan makin menjadi-jadi nakalnya.
Berbagai platform media sosial, sampai dipenuhi unggahan gambar Garuda biru dengan tulisan "Peringatan Darurat" bahkan banyak yang menyertakan tagar #KawalPutusanMK dan #Kawaldemokrasi.
Dari kemarin diskusi dirumah juga ikut-ikutan ramai membahas soal tingkah polah elit di DPR yang makin aneh sehingga memancing demo.
Bahkan di meja makan juga membahas urusan politik yang jauh dari urusan makanan, meskipun jika urusan politik dan pemerintahan memburuk bisa berpengaruh pada harga sembako yang bisa melambung tinggi.
Kamis (22/8/2024), mahasiswa dan banyak kalangan, malah termasuk didalamnya para komika juga ikut dalam gelar aksi demo di depan Gedung DPR RI, Jakarta, menyusul "Peringatan Darurat" tersebut.
Bahkan BEM di kampus Aceh juga ikut riuh menyikapinya, bukan hanya yang ada di Jakarta. Aksi demo kelihatannya terus menjalar di berbagai daerah. Apaalgi jika keputusan DPR nantinya berlawanan dengan harapan dan tuntutan publik yang sedang mengawal Pilkada agar tetap berada di jalur yang demokratis.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa sampai muncul peringatan darurat Indonesia?. Apakah kondisi negara kita memang sudah begitu parah dan rusak demokrasinya?. Dan apa dampak serius jika putusan MK soal Pilkada diabaikan, dan mengapa DPR dan Pemerintah melawan Putusan MK terkait Pilkada?.
Meskipun riskan membicarakannya, namun ini telah menjadi isu nasional . Ternyata gambar Garuda Pancasila bertuliskan "Peringatan Darurat" dengan latar belakang biru itu berasal dari tangkapan layar tayangan analog horor buatan EAS Indonesia Concept.
Sebagai warga negara yang baik, ketika demokrasi kita dijadikan objek kepentingan, wajar jika kemudian kita juga ikut bersikap, bukan karena latah atau ikut-ikutan.
Bagaimanapun DPR memang dinilai telah melakukan tindakan inkonstitusional karena mengabaikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas syarat pencalonan kepala daerah.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang melakukan revisi UU Pilkada dinilai merancang pembangkangan atas dua putusan MK sebelumnya.
Pertama, mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pileg sebelumnya, suatu beleid yang dengan tegas sudah diputus MK bertentangan dengan UUD 1945.
Kedua, mengembalikan batas usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan. Padahal, MK kemarin menegaskan bahwa titik hitung harus diambil pada penetapan pasangan calon oleh KPU.