Jika benar program Makan Bergizi Gratis atau Siang Makan Siang Gratis (Maksitis) bergizi, untuk anak-anak Indonesia terus diturunkan nilainya demi mencukupkan dengan anggaran, bagaimana kita mengukur tingkat kecukuan gizi dalam takaran makanannya.Padahal harga-harga bahan pangan terus melambung saat ini?.
Apalagi menurut kabar, saat awal program ini dipromosikan sebagai program untuk mendukung kecukupan gizi anak-anak Indonesia, ditaksir per porsi Rp25.000, kini nilainya terus menurun setelah dikalkulasi dengan ketersediaan budget milik negara yang tersedia. Sehingga dari angka Rp15.000, berubah menjadi Rp9.000.
Dan beberapa hari belakangan ini, program maksitis ketika kembali santer dibincangkan. Menteri Airlangga menyebut anggaran maksitis dipangkas agas anggaran negara tidak defisit dan kesepakatan mengerucut pada angka Rp7.500 per porsi.
Sebenarnya sudah sejak lama kita memperdebatkan soal ini, menjadi polemik sampai di medsos, dan publik tahu semua. Bahkan dalam beberapa uji coba, terlihat contoh menunya yang memang disesuaikan dengan takaran gizi tumbuh kembang anak. Betapa membahagiakan membayangkan anak-anak kita akan disuguhi makanan seperti itu.
Sampai-sampai ada yang membahas 4 sehat 5 sempurna, plus susu. Mengaitkan dengan swasembada beras, kemungkinan pemberdayaan peternak, pemberdayan pertanian, bahkan sampai menyoal pemberantasan stunting. Amboi, betapa indahnya program yang luar biasa ini, jika tidak mau kita menyebutkan sebagai program dahsyat.
Menyoal Maksitis dan Stunting
Jika benar maksitis atau makan siang gratis yang kemudian dikoreksi dengan tambahan "bergizi" memang ditujukan mula-mula untuk mengatasi problem stunting. Menjadi semacam payung sosial yang bisa membantu mengatasi sulitnya ekonomi. Paling tidak makan siang anak-anak dari keluarga tidak mampu yang masih bersekolah di tingkat dasar terpenuhi unsur gizinya.
Jika di rumah selama ini makanan dan variasinya itu-itu saja. Tahu, tempe, (itupun sepenuhnya karena pilihan harga murahnya, bukan karena kandungan gizinya), ikan asin (jika ada ikannya), sayur-sayuran.
Dalam perdebatan soal maksitis di awal yang bahkan juga menyasar ibu hamil menyusui karena jika dimaksudkan untuk mengatasi stunting, kadar kecukupan gizi juga harus bisa dinikmati pula oleh para ibu yang sedang mengandung atau hamil agar jabang bayi yang lahir nantinya tidak kekurangan gizi atau malnutrisi.
Dengan wacana pengembangan program maksitis yang terus berubah, dari level 4 sehat lima sempurna plus susu, kini hanya menyisakan sekedar makan siang--bahkan bukan tak mungkin jika terdesak nantinya dalam pelaksanaannya akan ada menu tambahan baru "mie instans" menu dobel karbo. Nasi berlauk pangan gandum.
Meskipun ini tidak menjadi problem jika kita kaitkan dengan upaya membantu mengatasi problem ekonomi sulit, paling minimalis hasilnya bisa membantu mengisi perut anak-anak kita saat siang hari daripada (mungkin) ada yang makan hanya sekali sehari. Lain halnya jika sudah bicara unsur kecukupan gizi.
Kita tidak bisa main-main jika harus mengaitkan maksitis sebagaimana rencana awal dengan stunting. Stunting
sebaga bantu sandungan masalah kesehatan anak, terkait pertumbuhan anak yang terhambat. Walhasil tumbuh kembang anak-anak tidak sempurna, bahkan anak tidak mencapai tinggi badan yang optimal untuk usianya akibat dari gizi buruk dan infeksi yang kronis selama masa pertumbuhan mereka, terutama dari masa kehamilan hingga usia 2 tahun.