Ada temuan menarik saat Masa Orientasi Siswa (MOS), saat saya memperkenalkan kelas jurnalistik, banyak siswa baru yang berminat bergabung. Ketika saya tanya minatnya menulis apa, dari 78 orang siswa, lebih dari setengahnya menyebut jika mereka menyukai "genre" menulis cerpen dan puisi.
Dan ketika saya tanya lebih jauh mengapa dua jenis tulisan fiksi itu jadi pilihan, jawaban mereka juga hampir sama; mudah, bisa jadi curhatan dan tak ada beban saat menulis.
Saya teringat ketika awal mula belajar menulis, dimulai dari menulis di buku harian atau diary. Karena dulu sebelum adanya gadget, buku harian menjadi salah satu tempat curhatan yang secara tidak langsung mengajarkan kita untuk menulis. Dan rata-rata, karena isinya adalah curhatan maka, jika bukan suara hati, tentu saja biasanya puisi.
Bahkan beberapa yang pernah saya buat dalam buku harian mirip cerpen yang berlatar belakang kisah pribadi. Panjangnya bisa berlembar-lembar dan pernah menyita satu buku harian tersendiri. Sayang sekali catatan tersebut hilang saat tsunami besar 26 Desember 2004 silam.
Intinya bahwa meskipun diary atau buku harian kini tak lagi populer di kalangan remaja atau siswa sekolah, namun curhatan dalam versi yang berbeda juga pasti dilakukan pada remaja. Barangkali karena itulah platform seperti Wattpad, Medium, Verse , Sweek , Commaful , Literotica, dan Poetry Foundation menjadi salah satu rujukan bacaan para remaja.
Bahkan saat saya berkunjung ke sebuah dayah atau pesantren untuk menemani seorang guru kelas menulis kreatif, lebih dari 80 persen siswa yang masuk dalam kelas jurnalistik menyukai cerpen. Tentu ini menjadi sebuah fakta yang menarik.
Apakah artinya para siswa di sekolah memang menyenangi tulisan fiksi seperti cerpen?. Apakah sastra menjadi sesuatu yang sebenarnya sangat disukai siswa disekolah?.
Sastra Masuk Kurikulum
Apakah revitalisasi sastra masuk kurikulum bisa memberi energi baru dengan memberi mereka waktu yang lebih banyak untuk mempelajari puisi, prosa, esai hingga cerpen?.
Mengapa isu ini tiba-tiba menyeruak muncul dan menjadi bahan diskusi yang hangat di ruang publik?.
Sejak Kemendikbudristek menginisiasi program Sastra Masuk Kurikulum, bertepatan dengan tanggal 20 Mei 2024 lalu, dan bersamaan pula dengan Perayaan Hari Buku Nasional, gagasan memasukan sastra dalam pembelajaran tiba-tiba menjadi sesuatu yang menarik.
Apakah ini sebuah kabar baik karena bisa menjadi jalan untuk mengenalkan kembali karya sastra untuk para siswa di era kekinian?.
Atau sebaliknya ini menjadi sebuah masalah atau beban baru bagi para siswa, karena dengan masuknya sastra melalui kurikulum artinya ada intervensi pemerintah yang "memaksa" siswa untuk belajar sastra, dan itu artinya menambah beban bagi para siswa yang sudah dipenuhi dengan berbagai jenis pelajaran.Tapi bagaimana jika kita kaitkan dengan banyaknya minat siswa terhadap sastra seperti pengalaman saya di sekolah?.