Lihat ke Halaman Asli

Rini Wulandari

TERVERIFIKASI

belajar, mengajar, menulis

Mengapa Praktik Bullying Masih Sulit Kita Deteksi di Lingkungan Sekolah?

Diperbarui: 28 Juni 2024   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilsutrsi perundungan sumber gambar kompas.com

Kekerasan bullying yang terus terjadi dan berulang menimpa anak-anak,  siswa di sekolah membuat kita tak hanya merasa prihatin namun juga harus memikirkan kembali solusi terbaik untuk bisa mengatasinya. Masalahnya karena kekerasan Bullying atau perundungan dan kejahatan yang yang sebenarnya, sering tak bisa dibedakan.

Kasus yang menimpa siswi SMK di Cimahi merupakan bagian dari puncak gunung es (iceberg theory) masalah bullying yang banyak terjadi di di lingkungan sekitar kita dan di "rumah kedua" sekolah-sekolah kita.

Dan dalam banyak kasus yang ada, bullying memang sering "tersembunyi", diantara kenakalan anak-anak, dan kekerasan verbal atau fisik yang real terjadi. 

Jika kita melihat kembali kasus di Cimahi, Bandung Barat, perundungan yang menimpa seorang siswi ternyata telah berlangsung selama 3 tahun. Pada akhirnya setelah penyelidikan intensif paska meninggalnya korban, tak sedikit teman-temannya yang ternyata tahu tentang kekerasan itu.

Mungkin pertanyaan yang timbul, Mengapa siswa lainnya tidak melapor atau mencegah?. Mengapa anak tidak mengadu kepada orang tuanya?.  Sehingga patut menjadi kecemasan kita bahwa kasus bullying sering dianggap seperti kasus kenakalan anak biasa. Begitu juga barangkali siswa lain juga berasumsi sama.

Ataukah karena Efek pengamat (bystander effect), teman-temannya beranggapan akan ada orang lain yang menolong karena mereka merasa tidak mampu atau takut?. 

Ilustrasi perundungan sumber gambarmegapolitan kompas.com

Bystander effect adalah fenomena sosial dimana kecenderungan seseorang untuk enggan menolong orang lain dalam situasi darurat ketika terdapat banyak orang lain di sekitarnya yang diharapkan bisa membantu.

Tak banyak yang menyadari bahwa ancaman bullying yang sesungguhnya lebih menyerang psikologis si korban. Merasa kalah, sendirian, tak berdaya, terancam, tertekan, disakiti. Dalam situasi ketika korban tidak menemukan tempat untuk berbagi, akan menjadi malapetaka yang fatal.

Ilustrasi anak korban bullying yang tertekan sumber gambardetik.com

Siapa yang Harus DiSalahkan?

Meskipun terjadi secara kasuistis, bullying selalu membuat kita terkejut dan cemas. Apalagi bagi yang memiliki putera-puteri yang sedang bersekolah. Jika terjadi kasus kita mendadak menjadi perhatian dan bersikap kritis terhadap putera-puteri kita. Jika intensitas kasus menurun maka kita kembali lalai. 

Dan pada saat yang sama, para pelaku bullying yang melakukan kekerasan perundungan agar tak terdeteksi, mungkin akan mengurangi intensitas kekerasannya kepada para korbannya, sebelum akhirya kembali pada perilaku semula, atau sebaliknya menjadi jera.

Sekolah juga tak sepenuhnya bisa disalahkan, meskipun kasusnya terjadi di lingkungan sekolah. Mengingat sekolah-sekolah saat ini sangat tegas soal bullying dan mengkampanyekan anti bullying sebagai salah satu program sekolah. Namun, dalam banyak kasus dimana bullying sering diperlakukan layaknya kenakalan anak-anak biasa, maka menjadi sulit mendeteksi kepastian sebuah kejahatan bullying.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline