Ada yang bilang bahwa munculnya pernyataan soal"Kuliah Tidak Wajib", hanya sebuah perbedaan cara pandang. Bahwa substansi sebenarnya terletak pada bagaimana memahami "Wajar yang Wajib oleh Pemerintah dalam batas 12 tahun", sehingga kuliah belum menjadi tanggungjawab Pemerintah sepenuhnya.
Apakah artinya pernyataan sekretaris dikti itu tidak salah, tapi hanya hanya salah dipahami?. Namun jika pernyataan itu juga dimaksudkan untuk sekedar "meredam" gejolak karena "meroketnya uang kuliah tunggal-UKT", mungkin juga tidak pada tempatnya.
Karena pernyataan itu bisa ditanggapi dengan beragam perspektif, termasuk anggapan kuliah "Tidak Wajib" dalam arti yang sebenarnya. Atau Pemerintah seolah sedang melepas tangan dari persoalan UKT yang kini makin mencekik dan menjadi problem krusial di Perguruan Tinggi kita.
"Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan,"."Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib," kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu (16/5).
Pernyataan itu menuai polemik yang meluas. Terutama karena muncul di tengah gejolak penolakan kenaikan UKT. Tak hanya para calon yang akan kehilangan peluang kuliah, bahkan banyak mahasiswa yang sedang menempuh studi juga menjadi korban UKT tersebut.
Padahal kita tengah mengejar target Sumber Daya Manusia (SDM), menuju Indonesia Emas di 2045.Target itu menjadi indikator keberhasilan kita dalam pencapaian peningkatan kualitas SDM di bidang pendidikan. Sehingga pernyataan pejabat dikti itu justru seperti terbalik dari tujuan itu.
Ini Tentang Pemerintah dan Wajar 12 Tahun Unsich?
Substansi persoalan Wajib Belajar (wajar) 12 tahun, sebenarnya lebih pada tanggungjawab yang saat ini bisa ditanggung oleh negara. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA.
Itu artinya bahwa setelah masa 12 tersebut, kebutuhan untuk melanjutkan studi menjadi sebuah "pilihan", tanggung jawab orang tua atau si anak masing-masing, belum sepenuhnya menjadi "kewajiban" negara. Namun harapan untuk melanjutkan studi tak boleh dikendorkan.
Di negara tertentu dengan tingkat kemakmuran yang lebih besar, Wajib Belajar-nya juga berbeda. Karena negara bisa menanggung warganya hingga ke bangku perguruan tinggi.
Dan pernyataan itu muncul seolah sebagai jawaban atas meroketnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang makin disorot saat ini. Situasi ini seolah membuat negara seperti tak hendak bertanggungjawab, sementara disisi lain harapan orang untuk sekedar kuliah semakin lama juga semakin sulit.
Bukan hanya persoalan bangku kuliahan yang tersedia, yang belum bisa memenuhi keinginan banyak orang untuk berkuliah, bahkan kini setelah lolos pun, termasuk yang melalui jalur prestasi harus berjuang mati-matian untuk bisa membayar uang kuliahnya.