"Cek dulu!, dibaca ulang, pastikan pesannya benar". "Jangan sembarangan kirim berita, meskipun viral, siapa tau hoaks!". "Markicek-Mari Kita Cek dulu!. Mestinya orang tua harus sedikit "cerewet, saat mengajari anak-anak mereka berinteraksi di dunia online-dunia digital, apalagi di media sosial yang riuh setiap harinya.
Di tengah luasnya samudera digital, seringkali orang tua memang merasa seperti seorang kapten kapal yang takut melihat anak-anaknya tersesat di lautan informasi. Menavigasi anak di lautan informasi digital, butuh "Kompas"-penunjuk arah berupa kompetensi digital!
Apalagi teknologi digital sudah jadi bagian keseharian anak-anak kita yang tak terpisahkan, namun dampaknya terhadap anak-anak juga sering membuat kita gelisah.
Distorsi digital, seperti kecanduan gadget, telah menjadi momok bagi banyak orang tua. Anak-anak terperangkap dalam aliran informasi yang tak terputus, mengalihkan perhatian mereka dari kegiatan penting seperti belajar, bermain, dan bersosialisasi.
Dan sering tak berhati-hati saat berinteraksi. Dampaknya bisa merugikan perkembangan kognitif, sosial, dan emosional mereka. Bahkan bisa menjadi ancaman!
Tidak hanya itu, arus informasi yang tidak terkendali di internet seringkali mengejutkan para penggunanya. Bahkan, banyak informasi yang tidak akurat atau bahkan hoaks. Berita palsu tersebar dengan cepat, terkadang tanpa dipertimbangkan dengan bijak, justru bisa merusak opini publik.
Kita harus jeli melihatnya dari sisi yang kritis, terutama kaitan antara fakta tersebut di atas dengan masih rendahnya literasi digital, yang bisa berdampak pada penyalahgunaan teknologi digital, terutama hoaks, atau kejahatan siber (cyber crime).
Pilah, Pilih, "Markicek" Informasi Sebelum Disebar
Mengapa literasi digital penting menjadi perhatian kita?. Jika kita belajar dari maraknya ujaran kebencian dan kekerasan verbal yang terjadi selama masa Pemilu 2023 kemarin, kita bisa melihat bahwa tingkat kesopanan warganet terlihat sangat buruk.
Bahkan anak-anak kita pun sebagiannya juga terlibat aktif dalam situasi dan kondisi politik yang mungkin belum mereka pahami sepenuhnya konteks dan situasinya yang penuh dengan ragam kampanye hitam dan hoaks.
Ternyata kita masih jauh dari mencapai etika digital yang ideal. Etika digital bukan hanya soal mengontrol informasi negatif, tetapi juga bagaimana kita berkomunikasi secara bijaksana di dunia maya. Emosi dalam percakapan online bisa tersembunyi, menyulitkan penafsiran dan memperburuk situasi.
Bahkan dalam tata cara kita berkomunikasi di dunia maya pun harus menjadi perhatian kita yang kritis. Dalam percakapan verbal secara langsung, emosi lawan bicara bisa "dirasakan" dari intonasi dan rasa bahasa yang terdengar di telinga.
Dalam dalam percakapan berupa informasi, sisi emosional bisa "tersembunyi" tanpa kita sadari. Sehingga candaan bisa dimaknai serius atau bahkan penghinaan. Sekalipun itu berasal dari seseorang yang kita kenal baik.
Seperti yang sebagian orang ketahui, bahwa dalam etika berkomunikasi lewat telepon, suasana hati seseorang bisa "terbaca" orang lain. Nada atau intonasi yang bernuansa sedih bisa "dirasakan". Begitu juga ketika seseorang yang menelepon dengan hati dan wajah yang ramah, akan terdengar tulus. Apalagi jika mengawali pembicaraan dengan "salam".
Anak-anak perlu dibekali dengan keterampilan kritis untuk menyaring informasi. Mereka harus memahami pentingnya memverifikasi kebenaran informasi sebelum menyebarkannya, terutama jika informasi itu sangat penting dan dapat memengaruhi banyak orang. Markicek--mari kita cek dulu sebelum bertindak lebih jauh.