"Mereka memang sering bertengkar, orang tuanya sering memukuli anaknya, mereka sering ribut soal ekonomi karena suaminya pengangguran, sudah biasa suami marah-marah dan meninggalkan rumah, orang tuanya memang pemarah, anak-anaknya nakal". Fakta-fakta seperti itu sering kita temui dalam kasus terjadinya KDRT yang berakhir pada luka fisik atau kematian.
Termasuk kasus termutakhir di Jagakarsa. Bahwa masyarakat di sekitar keluarga yang mengalami KDRT mengetahui adanya kemungkinan kejahatan tersebut.
Pertimbangan tidak mau mencampuri urusan orang lain atau berharap ada orang lain yang juga mengetahui kasus yang sama akan bertindak, membuat mereka saling berharap dan menyebabkan rasa tanggung jawab menjadi kurang untuk turut mengatasi masalah.
KDRT sering kali tersembunyi di balik tirai privasi, membuatnya sulit untuk diidentifikasi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk dapat mengenali sinyal-sinyalnya.
Tanda-tanda fisik seperti cedera yang tidak wajar dan perubahan perilaku yang drastis dapat menjadi petunjuk awal. Selain itu, isolasi sosial, kontrol ekonomi, dan ancaman verbal juga dapat menjadi indikator kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah serius yang dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Salah satu fenomena sosial yang seringkali menyebabkan kasus KDRT terlambat di atasi karena adanya fenomena Bystander Effect atau Efek Penonton.
Fenomena ini mengacu pada kecenderungan seseorang untuk tidak memberikan pertolongan atau intervensi saat menyaksikan tindakan kekerasan, karena adanya asumsi bahwa orang lain akan mengambil tindakan.
Situasinya membuat masyarakat saling berharap untuk memberikan pertolongan, apakah memberi bantuan secara ekonomi, atau bantuan mediasi.
Bystander Effect dalam Kasus KDRT
Bystander Effect merupakan konsep psikologis yang pertama kali dijelaskan oleh psikolog sosial John Darley dan Bibb Latan pada tahun 1968.