Akselerasi sistem digitalisasi dalam hampir semua jenis layanan administrasi kependudukan terus berlangsung. Sebagian sistem administrasi kita terus dibenahi, sejak e-KTP Fisik, Akte Kelahiran hingga Akte Tanah Digital.
Kita harus mendukungnya, meskipun ada hal-hal yang patut menjadi perhatian agar tidak timbul masalah nantinya.
Mulai dari digitalisasi yang belum merata aksesnya, hingga digitalisasi yang belum dipahami dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat kita (kita menyebutnya dengan-gatek-gagap teknologi).
Sedangkan keanehan yang masih terjadi pada e-KTP, tetap harus kita fotocopy saat mengurus administrasi. Padahal e-KTP telah dilengkapi dengan microchip yang menyimpan data pribadi dan dapat diakses dengan cara pemindaian atau scan.
Tapi dalam prakteknya hal itu belum dijalankan.
Sebagian masyarakat menganggap sistem tersebut menjadi serba tanggung, "canggih e-KTP-nya, tapi tidak canggih penggunaannya". Mengapa hal itu terjadi?.
Sebenarnya e-KTP sudah dilarang difotokopi sejak tahun 2013. Hal ini termuat dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 471.13/1826/SJ perihal Pemanfaatan e-KTP dengan Menggunakan Card Reader.
Surat Edaran ini bahkan ditujukan kepada para menteri, kepala lembaga, kapolri, gubernur BI atau pimpinan bank, gubernur dan bupati atau walikota.
e-KTP tidak diperkenankan difotokopi, distapler dan perlakuan lainnya yang merusak fisik e-KTP , sebagai penggantinya dicatat nomor induk kependudukan (NIK) dan nama lengkap, demikian bunyi salah satu poin dalam SE Mendagri tersebut.
Bahkan pada poin lainnya disebutkan bahwa jika masih ada lembaga yang memfotokopi menstapler dan perlakuan lainnya yang dapat merusak fisik e-KTP maka akan diberikan sanksi.
Selain itu disebutkan juga bahwa kantor pelayanan publik diwajibkan untuk melakukan pengadaan alat pembaca chip e-KTP atau card reader.