Lihat ke Halaman Asli

Rini Wulandari

TERVERIFIKASI

belajar, mengajar, menulis

Jangan Pukul Rata, Karena Setiap Anak Itu Istimewa Cara Belajarnya

Diperbarui: 11 Juli 2023   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 anak-anak dengan karakter dan gaya belajarnya sumber gambar-kompas

Sebagai seorang guru, saya sangat menyadari, jika anak-anak mendapat tekanan dan masalah di sekolah, belum lagi dengan himpitan masalah di rumah mereka. Tapi begitulah kenyataaannya. 

Kemarin saya baru mengunjungi rumah seorang siswa karena sudah dua minggu tak masuk sekolah. Berbekal alamat dari teman sekelasnya, setelah menyusuri lorong komplek yang berliku akhirnya sampai di sebuah rumah kecil diujung jalan. Halamannya luas tapi begitu sunyi suasananya.

Begitu masuk kehalaman, seorang perempuan baya keluar menyambut dan menanyakan maksud kedatangan. Ketika tahu saya guru putrinya, ia sedikit terburu dan mempersilahkan masuk. Dan kami terlibat obrolan.

Saya baru tahu jika murid saya itu ternyata punya masalah secara ekonomi. Selama ini ia tak pernah menceritakan kondisi keluarganya. Apalagi siswi saya itu berpenampilan bersih dan rapi, sehingga tak akan ada yang menyangka jika ia punya masalah. 

Tapi begitulah, tak hanya satu, setiap siswa yang direkomendasi sekolah atau inisiatif sendiri harus saya kunjungi sebagai wali kelas punya ceritannya masing-masing. 

Dengan masalah yang dihadapi masing-masing anak, sebagian dari mereka bertahan, sebagiannya lagi menjadi pemberontak, di sekolah mendapat cap, anak bandel, susah diatur, suka melawan, malas, mengganggu teman, usil, tidak sopan dengan guru, dan bodoh lagi!. Padahal latar belakang masalah setiap anak ternyata kompleks.

Saya menyadari sejak lama berbekal pengalaman sebagai wali kelas, sehingga setiap menemukan kasus selalu saya usahakan untuk bekerja layaknya "detektif partikelir", mengorek info. Beberapa kali menggunakan pendekatan personal.

Pihak sekolah semestinya harus "memahami" masalah-masalah seperti ini. Tak hanya berusaha mendorong kreatifitas atau prestasinya saja, dan "mendapatkan" nilai baik itu untuk sekolah. 

Memang semuanya tidak mudah, apalagi jika kita telah mengetahui latar masing-masing yang membuat anak bertingkah  disekolah. Dan semua ini jelas tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan.

Mereka adalah kita

ibu dan anak-kompasiana

Sekolah kita sampai saat ini masih membebani anak-anak kita dengan muatan pelajaran yang padat, meng-generalisasi-kan para siswa seolah mereka mempunyai kemampuan dan minat yang sama, dan tak sepenuhnya memahami masalah setiap anak. 

Dan para sisiwa mempelajari pelajaran yang belum tentu sesuai dengan minat-bakatnya. Akibatnya mereka kehilangan mood belajar, menjadi hiperaktif sepulang dari sekolah karena kesal dan bukan tidak mungkin mereka stres layaknya orang dewasa

Susanne Gaschke dalam bukunya Ende der Kindheit, menyebutkan bahwa tiga puluh persen murid sekolah mengeluhkan gangguan sakit yang mereka derita, layaknya yang dialami orang dewasa, yaitu sulit tidur, lemah konsentrasi, sakit kepala, dan sakit perut. 

Anak yang berusia sepuluh tahunan bahkan mengeluhkan tentang hilangnya selera makan mereka. Nah, bukankah hal ini sangat menguatirkan. Selama pembelajaran daring tekanan mereka bertambah, karena mereka kehilangan kemampuan interaksi sosialnya dan lunturnya kekuatan moralitas yang tidak lagi terasah.

Dengan begitu banyak pengalaman langsung bertemu para siswa dan mendengarkan masalahnya, saya sebagai guru juga belajar banyak. Belajar unutk ememhami setiap siswa, dengan masalah yang berbeda. 

Kata orang bijak, pembelajaran tentang kehidupan tak bisa diukur dengan umur, siapaun dapat menjadi pengantar hikmah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline