Anak-anak kita memang bersekolah, ada di kelas, tapi hati dan pikirannya melayang entah kemana. Ribuan informasi melintas dikepalanya, tapi tak tahu mana yang lebih dulu harus diingatnya!
Sebenarnya banyak orang menyadari hal itu, tapi tak punya definisi tepat, apa fenomena sebenarnya. Para guru yang setiap hari berinteraksi langsung dengan siswa, bisa merasakan bagaimana turunnya kemampuan kognitif siswa saat proses belajar.
Mereka bukan tidak pintar, tapi seperti kesulitan menganalisis teks ilmiah pelajaran. Siswa sering kesulitan merumuskan pemikiran mereka sendiri terutama masalah yang sedang mereka pelajari disekolah, agar bisa membuat kesimpulan yang masuk akal dan konsisten menurut logikanya.
Regresi intelektual itu sebagian besar sebabnya karena ketergantungan digital siswa pada gawai. Informasi yang bergerak cepat, dan beragam di media digital membuat siswa terbiasa fokus pada persepsi dan analisis informasi kecil yang tidak saling terkait. Akibatnya, clip thinking terbentuk.
Kesadaran mereka seperti potongan mosaik. Aneka potongan informasi tersaji secara berserak dan lepas konteks. Dalam kondisi seperti ini, siswa tidak jarang kehilangan kemampuan persepsi holistik atas informasi yang diterimanya.
Itulah salah satu sisi negatif fenomena clip thinking, menurunnya nalar kritis atas informasi yang diterimanya. Dampaknya luar biasa, bisa mengarah pada kasus kejahatan, dan yang terburuk, masuknya pengaruh sugestif para provokator media digital.
Tak heran jika siswa yang akrab dengan media sosial, dan intens berinteraksi, juga berperan sebagai penyebar hoaks. Karena kesulitan memilih dan memilah informasi yang diterimanya.
Jika ada 100 orang mengatakan sebotol air mineral adalah air soda, dan hanya satu yang menolak, maka bisa jadi hal itu akan menjadi "kebenaran yang salah", karena persepsi kita mendapat stimulasi semu menerimanya sebagai kebenaran.
Mencari solusi cerdas
Sekolah daring selama pandemi menjadi pemicu awal-anak anak akrab berinteraksi dengan gawai ketika belajar. Dan kebiasaan membaca buku pelajaran terdegradasi, jauh ditinggalkan.
Bagaimana mengembalikan kebiasaan baik para siswa agar tak "terjangkiti" clip thinking?