Sudah 16 tahun dipan yang terbuat dari kayu jati menjadi miliknya. Jasanya sudah sangat besar. Puluhan mahasiswa sempat meniduri...silih berganti.
Harus diakui, dipan jati kurang memiliki jati diri. Kalah telak oleh spring bed. Selain empuk, juga menunjukkan kelas yang beda.
Sudah begitu sering dituduh jatinya palsu. Padahal sudah berat berat dan padat. Apalagi kalau ringan dan kopong, seperti kulit bekicot
Pagi-pagi bu Duma sudah pengin menangisi tentang dipan jati miliknya. Dia masih sayang, tapi bingung cara menyimpannya.
Dipan jati yang dipesan di kota Cepu, lebih dari sepuluh tahun lalu. Suami dan puteri selungnya, naik kereta api dari Jakarta menuju Cepu.
Ditemuinya pak Wahyu di Cepu. Kota yang dibawah permukaan tanah mengandung tambang minyak bumi. Dan di atas nya tumbuh hutan jati.
Kota kaya yang sepi. Sampai-sampai nonya pemilik rumah tempat suami dan putrinya makan siang lupa membalik kalender selama bertahun-tahun.
Setelah dipan jati itu letih menanggung beratnya bobot. Sebagai tempat tidur pulas berbagai manusia dengan harapan hidup yang penuh perjuangan. Pun tempat leyeh-leyeh sebagian manusia yang gemar membuang waktu bermalas-malas.
Bahkan terkadang ada yang hanya ingin berpose. Sepertinya sebagai penghuni dipan sejati.