Nyi Imay masih sering melewati pagar itu. Pagar sebuah rumah yang kini lebih sering digembok. Itulah pagar rumah nyonya Siu. Seorang nyonya yang keturunan Tionghoa. Yang kini menjadi mualaf. Tukang sayur, tukang tahu dan tukang roti langganan memanggilnya dengan sebutan bu hajjah.
Tapi entah mengapa, suaminya selalu menolak dipanggil pak haji. Jadilah, tukang sayur, tukang tahu dan tukang roti memanggilnya dengan sebutan oom.
Nyi Imay adalah pembantu pulang hari di rumah nyonya Siu. Semua-semua, tetangga-tetangga dan tukang-tukang langganan heran. Apa pekerjaan pembantu nyonya Siu itu.
Dari pagi, hampir setiap pagi nyonya Siu sibuk mencuci baju dan membuang BAB kucing. Sedangkan suaminya membuka gembok pagar dan menyapu halaman.
Nanti setelah matahari bersinar benderang, jam setengah sembilan barulah nyi Imay datang. Turun dari boncengan seorang driver ojol, nyi Imay tidak langsung membuka pagar.
Entah apa yang asyik dibicarakan sambil sesekali terdengar senda guraunya. Bayar ongkos ojol , pikir nyonya Siu tanpa mau berprasangka buruk. Barulah mendorong pagar yang dipasang bebunyian klinting-klinting.
Malu-malu nyi Imay memasuki halaman rumah nyonya Siu. Kian hari wajah nyi Imay kian sering tersipu. Apalagi saat mendorong pagar putih yang bagaikan reot, tapi masih cukup kokoh.
Selalu senyum nyi Imay diarahkan ke seorang driver ojol yang baru menurunkan dari boncengan motornya. Dan bila nyonya Siu sedang ada di teras, nyi Imay masuk dengan kepala menunduk dan melirikkan mata sedikit-sedikit.
Lama dan lama ...
Ada rasa enggan pada nyonya Siu memunculkan diri di teras. Malu? Atau jengkel? Ah nyonya Siu tak pernah menyiratkan secara nyata. Walau dalam hati sangat berharap suatu hari akan ada tersurat, agar dia dapat menikmati terasnya di pagi hari.
Suara nyi Imay terdengar sampai ke dalam rumah. Nyonya Siu bisa mendengar. Itulah tanda nyi Imay sudah datang. Dan selang sepuluh sampai lima belas menit terdengarlah suara klinting-klinting dan suara dorongan grek grek greekk. Suara pagar reot yang masih cukup kokoh.