Bugh!
Suara benda tumpul yang dipukulkan pada benda lain. Disusul suara benda jatuh. Berikutnya hening. Senyap seperti tidak terjadi apa-apa. Atau memang benar tidak terjadi apa pun di dalam sana. Sebuah ruangan yang sebenarnya terlarang untuk dibuka apalagi mencoba masuk. Itu pesan Nenek Rosmala.
Nenek Ros--begitu sering disapa--menghuni rumah tua warisan orang tuanya sendirian. Anaknya yang laki-laki sudah duluan mati. Ia bunuh diri sepuluh tahun lalu saat masih berusia 15 tahun. Mayatnya entah di mana. Seorang lagi, perempuan. Kabar terakhir dia pindah mengikuti suaminya ke Jakarta. Ada yang bilang anak perempuannya juga sudah mati. Penyebabnya apa tak ada yang tahu, termasuk Nenek Ros.
Di dalam rumah itu ada tiga kamar. Sebenarnya ada satu kamar lagi, tetapi Nenek tak pernah membiarkan orang-orang mengetahuinya. Termasuk Diyanti. Gadis yang tak sengaja diterima tinggal di sana. Mungkin ini sebuah kebetulan. Diyanti sedang butuh tempat tinggal, menolong Nenek Ros yang terjatuh dekat rumahnya.
Nenek Ros memberi kamar anak perempuannya kepada Diyanti. Kamar yang cukup luas dibanding kamar Diyanti sebelumnya. Ranjang klasik dengan kelambu warna dusty pink. Bah, salah satu warna yang paling dihindarinya, selain hitam. Ingin rasanya Diyanti mengganti kelambu itu setengah hari dia di rumah itu.
Akan tetapi itu tak mungkin, pesan Nenek Rosmala dia tidak boleh mengubah susunan kamar itu apalagi menggantinya. Seluruh barang tidak boleh berpindah dari posisinya sekarang, walaupun hanya menggesernya. Fiuh, pemilik rumah yang otoriter. Tapi mau bagaimana lagi, Diyanti sangat memerlukan tempat tinggal saat ini.
Setelah dua bulan tinggal di sana, Diyanti mulai merasa ada keanehan di rumah Nenek Ros ini. Pada hari-hari tertentu di kamar ini tercium aroma sebuah masakan.
Awalnya Diyanti tidak mengetahui masakan jenis apa. Dia menghidu dari celah lubang angin kamarnya yang terhubung dengan sebuah kamar kosong yang terlarang itu.
Pernah suatu malam, Diyanti ke dapur karena kehausan. Dia menemukan sepiring pancake yang disiram cokelat dan ditaburi kacang almond. Sepertinya masih hangat, uap panasnya masih terasa. Indra penciumannya juga mengirimkan pesan, aroma makanan di piring ceper ini adalah bau yang sama malam yang lain. Bedanya, kali ini bersama wujud bendanya.
Diyanti urung mengambil minum. Pikirannya teralih demi melihat sepiring pancake itu. Dia kembali ke kamar dengan berbagai pertanyaan bergelayut di batang otaknya. Dia memutuskan untuk bertanya pada Nenek Ros. Akan tetapi, setiap ditanya, bukan jawaban yang dia peroleh, melainkan umpatan.
Merasa tidak mendapat jawaban, Diyanti berupaya mencari sendiri jawaban dari setiap tanya yang hinggap di otaknya. Termasuk mencoba masuk ke ruangan terlarang ini. Diyanti bahkan tak lagi takut si nenek bakal mengusirnya, seperti ancamannya waktu itu, ketika gadis itu bertanya untuk kesekian kali.