Lihat ke Halaman Asli

Cokelat dan Arloji

Diperbarui: 11 Juli 2020   00:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Bahagia

Kebahagiaan itu sebenarnya ada dalam hati, bukan di mana kita berada. Tetapi jujur, aku merasa menemukan kebahagiaan di sini, di rumah lama. Rumah masa kecilku.

Mentari pagi baru saja menyingsing. Semburat kekuningan di cakrawala belahan timur memberi corak langit demikian indah. Walaupun belum bulat sempurna karena masih terhalang lapisan kabut yang mulai turun. Namun, dingin yang tercipta tak menghalangi penduduk sekitar untuk beranjak dari peraduannya. Biasanya sebagian dari mereka sudah mulai menapaki pematang menuju persawahan milik mereka.

Angin menerpa tipis membawa serta hawa dingin yang belum juga mengusik rasa malasku. Suara-suara ranting yang saling bersinggungan, menciptakan bunyi-bunyian di luar kamarku. Bukan hanya dahan yang mengetuk jendela kamar, ada juga suara lain di luar sana. Telingaku cukup jelas mendengar biarpun mataku enggan terbuka.

Suara itu berada di sekitar jendela. Berisik, membuatku bangun. Aku bisa menerka, suara itu adalah suara sapu lidi. Pagi sekali Bi Min sudah menyapu halaman. Tiba-tiba senyap. Tak terdengar lagi suara sapu diseret di tanah. Lamat-lamat terdengar suara dua orang sedang berbincang. Dengan siapa Bibi bicara?

Mataku terbuka, mencari ponsel di bawah bantal sekadar memastikan jam berapa saat ini. Oh, pantas saja. Sudah siang rupanya. Bergegas aku beranjak dari tempat tidurku. Meraih handuk, lalu menghilang di balik kamar mandi.

Hari ini aku ada janji dengan Mbak Rara. Ini adalah pertemuan pertama setelah pembicaraan project mencapai kesepakatan. Ya, ada banyak pertemuan sesudah ini untuk membahas berbagai hal dan kali ini aku membebaskan Mbak Rara menentukan di mana kami akan bertemu nanti.

Akhirnya, disepakati sebuah kafe di pinggiran kota sebagai tempat pertemuan. Mengapa jauh sekali memilih kafe? Ah, ada baiknya nanti aku tanyakan.

Selesai bersih diri, aku mematut diri di cermin, menyisir rambutku yang sudah mulai menggapai pundak. Aku mencari ikat rambut kain favoritku untuk mengikat rambut hitamku sekenanya. Kemeja panjang kulipat dan tersisa dari panjang lengan. Kulit mulus terlihat jelas di tanganku. Aku bergeming. Mendadak aku teringat Papa. Dia pernah melarangku meninggikan lipatan di lengan kemejaku.

"Turunkan lipatan bajumu, Nayya."

"Kenapa, Pa? Gerah kalau dipanjangin."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline