Lihat ke Halaman Asli

Waria Bukan Pilihanku

Diperbarui: 6 Januari 2018   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WARIA BUKAN PILIHANKU

Oleh  Rini Marina

Di sebuah pinggiran desa nan jauh dari keramaian. Sebagian masyarakatnya hidup sebagai petani, pencari kayu serta pedangang. Di sudut kehidupan desa, tinggallah keluarga yang sangat sederhana. Seorang ibu paruh baya bersama anak laki-lakinya. Semasa ia berusia tiga tahun, bapaknya telah meninggal dunia.

Meski demikian, di sekitar rumahnya masih ada beberapa sanak famili yang dimilikinya. Sehingga masih ada keluarga lainnya yang memedulikanya. Maklum saja kehidupan desa sangat dekat dengan kebersamaan.

Anak laki-laki itu bernama Darjan. Setiap pagi, ibunya hanya menjual jajanan tradisional di pasar. Sesampainya di rumah ia pergi ke ladang. Sebab itulah satu-satunya peninggalan yang dimiliki. Memang tidak luas, tapi cukup untuk menghidupi anak-anaknya. Perempuan itu sangat rajin serta tabah dalam menjalani hidupnya.

Saat dilahirkan dia tidak nampak memiliki kelainan. Darjan tumbuh menjadi seorang anak yang taat pada orang tua. Kegiatan yang dilakukannya sama dengan layaknya anak lain. Ia akrab berteman dengan siapa saja. Baik anak perempuan ataupun anak laki-laki. Sembari berangkat ke Sekolah Dasar (SD) ia membantu ibunya. Sekedar membawakan segulung daun pisang ke pasar. Meskipun sejak kecil sudah ditinggal bapaknya, ia tidak pernah mengeluh. Darjan sangat menyayangi ibunya sepenuh hati.

Tidak terasa enam tahun telah terlewati. Kini saatnya Darjan meneruskan pendidikannya. Bersama dengan teman-temannya ia mendaftarkan diri ke SMP yang tidak jauh dari rumahnya. Di tahun pertama kehidupannya biasa saja. Tapi memasuki tahun ke dua, Darjan mulai menunjukkan keanehannya.

Kebetulan setiap tahun kelas selalu diacak. Mereka tidak dapat menentukan siapa yang akan menjadi temannya nanti. Darjan berpisah dengan teman-temannya dulu. Ia mempunyai teman baru dan mulai beradaptasi. Tidak ada kesulitan yang berarti buatnya. Darjan tergolong anak yang rajin dan pandai. Sehingga teman-temannya banyak yang perhatian dengannya.

Kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak menyurutkan langkahnya utuk selalu belajar. Sepulang sekolah Darjan selalu menyempatkan waktunya untuk membantu Ibunya. Walaupun hanya mengupas kulit singkong. Ia tidak malu-malu melakukannya.

Kemiskinan justru membuatnya menjadi orang yang lebih tegar dan tangguh. Hingga pada akhirnya ia lulus SMP. Dengan berat hati Ibunya mengatakan,"Jan, kamu sudah lulus SMP. Setiap pagi hingga petang, ibumu bekerja. Tapi hasilnya hanya cukup buat makan saja. Untuk bayar sekolahmu saja, ibu kadang-kadang hutang. Seperti itulah kondisi kita nak. Kalau mau melanjutkan sekolah, ibu harus bekerja lebih keras lagi. Apalagi kondisi ibumu sudah makin tua. Semua tergantung dari keputusanmu. Ibu manut apa kemauanmu." Tutur bu Ijah sambil mengusap air matanya yang menetes dipipi.

Sontak saja mendengar kata-kata yang dilontarkan ibunya, hati Darjan luluh. Ia tidak kuat melihat ibunya yang terlihat sedih. Dengan terbata-bata, ia bilang, "Ibu, aku ihlas jika tidak sanggup membiayaiku. Tapi ijinkan aku mencari pekerjaan di kota besar. Aku akan ikut teman-temanku kerja. Mereka juga tidak melanjutkan sekolah." Darjan mengatakan itu, sambil bersimpuh di pangkuan ibunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline