Lihat ke Halaman Asli

Salju di Hati Siswa

Diperbarui: 3 Januari 2018   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh  :  Rini Marina

 

Pagi berselimut kabut. Tak hiraukan tetesan embun membasahi kaca helm. Hanya sesekali saya menyekanya, agar jalanan terlihat kembali. Perjalanan sejauh lima belas kilo meter terasa biasa. Itupun belum sampai tempat dimana saya mengajar. Sesampainya di kota, saya harus menunggu kendaraan umum, untuk sampai ke sekolahan.

Lima belas menit, waktu yang sangat berharga. Banyak hal yang dapat saya pelajari saat di kendaraan umum. Selain bertemu dengan pedagang jamu gendong, buruh, sesama guru bahkan para siswa kami. Raut wajahnya terlihat sungkan untuk menyapa gurunya. Sayapun menyadari, jika mereka memang  kurang percaya diri dan malu. Akan tetapi, saya berusaha mengajak ngobrol ringan. Karena sudah menjadi kebiasaan, akhirnya mereka pun akrab sekali. Tak hanya itu, penumpang lain  yang mendengar komunikasi kami, juga ikut nimbrung pembicaraan kami.

Waktu dan kesempatan tidak akan terulang kembali. Sebab setiap hari siswa yang saya jumpai sering berbeda. Terkadang siswa kelas sembilan, delapan dan yang paling sering justru kelas tujuh. Walaupun saya tidak mengajar di kelas tujuh, tapi mereka sangat mengenali saya. Mereka sangat polos dan jujur sekali dalam menjawab berbagai pertanyaan yang saya berikan. Cukup puas, rasanya dapat mendengar keluhan mereka. Sehingga saya dapat mencari solusi terbaik baginya.

Saat kami asyik mengobrol, tiba-tiba saja, kernet meminta ongkos pada para penumpangya. Para siswa saling melirik ke arah temannya. Melihat bahasa tubuhnya, saya sangat paham bahwa, itu kode mereka meminta uang pada temannya. Sebenarnya tidak banyak uang saku yang harus dibayarkan. Cukup dengan uang seribu rupiah saja, mereka sudah sampai di pertigaan sekolahan. Bagi siswa yang sudah hafal, mereka sudah tahu kalau saya yang akan membayarinya. Tak jarang mereka tersipu saat mengulurkan tangannya pada kernet elf. Sebab uang mereka pasti ditolak karena sudah saya bayari.

Senang rasanya dapat berbagi dengan mereka. Ucapan terima kasih yang tulus keluar dari mulut mereka dengan penuh rasa hormat. Saya pun sangat terharu dengan sikap mereka. Saya yakin bahwa mereka akan melakukan hal yang sama kelak bila mereka dewasa.

Kebersamaan itu tidak hanya berhenti di kendaraan saja. Tapi kami juga jalan kaki bersama, sekitar tiga ratus meter. Tidak hanya dengan mereka saja, akan tetapi, ketambahan siswa dari arah barat yang turun dari kendaraan. Sehingga jalan desa berpaving itu cukup padat. Lalu lalang kendaraan dan para siswa pejalan kaki.

Jangan anggap remeh temeh jalan kaki di pagi hari. Sebab banyak sekali hikmah yang ada. Khususnya bagi saya sebagai guru dan teman mereka. Sambil jalan mereka akan bercerita banyak hal. Baik pengalaman pribadi yang lucu, menyedihkan bahkan permasalahan yang sedang ia hadapi.

Beberapa minggu yang lalu, saya menemukan permasalahan yang unik dan ganjil. Setiap hari Senin dua siswa ini selalu tidak masuk sekolah. Lantas saya bertanya pada teman-temannya di kelas. Tak satu pun dari mereka yang mengetahui alasannya, kenapa dia tidak masuk sekolah. Akhirnya guru mata pelajaran lainnya merasakan hal yang sama. Sebagai wali kelas, saya dilapori dan mengucapkan terima kasih karena telah ikut memedulikannya.

Catatan dari beberapa orang guru saya terima. Lantas saya jadikan informasi akurat untuk menindak lanjutinya. Saya pun mencari jalan demi keberhasilan mereka. Di hari berikutnya, saya pura-pura mengajak gurau. Beberapa cerita telah saya siapkan sebelumnya. Saya berharap apa yang saya lakukan dapat meluluhkan hatinya. Sebab beberapa guru bertanya tidak membuahkan hasil. Atas ketidakhadirannya setiap hari Senin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline