Ruang rumah sakit yang steril selama pandemi COVID-19 yang biasanya menggambarkan ketegangan, kecemasan dan jarak sosial. Di Makassar, sebuah kota yang dikenal dengan nilai-nilai kemanusiaannya, telah terjadi pergeseran penting. Dokter tidak hanya menjadi penjaga Kesehatan, mereka juga menjadi harapan bagi Sebagian besar orang. Sebelum pandemi, dokter mempertahankan sikap formal dan jauh, mereka sering kali menciptakan jarak dengan pasien.
Penampilan profesional mereka memproyeksikan otoritas tetapi juga pelepasan emosional. Munculnya virus misterius ini mendorong transformasi yang signifikan dalam praktik komunikasi medis. Artikel ini bertujuan untuk mereview jurnal berjudul "Komunikasi Kesehatan Dokter dan Pasien Berdasarkan Kebijaksanaan Lokal di Masa Pandemi."
Dr. GPR, seorang dokter terkemuka dari pendekatan inovatif ini, menyoroti dampak transformatif mereka. "Kami memutuskan untuk meminimalkan visibilitas peralatan medis," katanya. "Tujuannya langsung namun penting --- untuk membangun lingkungan yang aman untuk dialog pasien." Mantel putih yang dulunya otoritatif telah digantikan oleh pakaian kasual dan ekspresi ramah untuk mengurangi kecemasan. Inti dari perubahan ini berakar pada prinsip kuno Sipakatau, sebuah filosofi Bugis-Makassar yang menekankan humanisasi timbal balik.
Prinsip ini melampaui komunikasi belaka, memprioritaskan martabat manusia, membongkar hierarki sosial, dan menegaskan kesetaraan. Dalam praktiknya, pergeseran ini tercermin dalam detail menit. Misalnya, Dr. AH sekarang memilih istilah lokal informal daripada "Tuan" atau "Ibu", mendorong interaksi yang menyenangkan dan egaliter. Pasien yang lebih tua disebut sebagai "Puang" atau "Daeng", mempromosikan dinamika percakapan yang ramah.
Strategi komunikasi mereka melampaui teknik belaka, mewujudkan seni serta menumbuhkan kepercayaan. Penilaian awal dimulai dengan dialog biasa daripada interogasi formal. Dokter memprioritaskan kenyamanan dengan mendiskusikan subjek jinak seperti pekerjaan atau keluarga sebelum menangani masalah medis. Dr. AAM menjelaskan rintangan psikologis yang dihadapi.
Pandemi tidak hanya menimbulkan ancaman virus tetapi juga tekanan psikologis yang mendalam. Stigma dan informasi yang salah telah mengubah lingkungan perawatan kesehatan menjadi zona ketakutan. Pasien membawa ketakutan yang signifikan mengenai diagnosis, penolakan sosial, dan potensi dislokasi dari rumah.
Komunikasi yang efektif muncul sebagai alat penting dalam mengurangi kecemasan ini. Dokter menggunakan bahasa empatik, menghindari jargon teknis untuk terhubung dengan pasien secara emosional. Mereka memakai kata-kata lokal yang familiar, memakai kata-kata yang bersifat empati, dan nada lembut digunakan untuk menumbuhkan suasana yang mendukung untuk dialog.
Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya hubungan manusia atas prosedur medis selama krisis kesehatan. Sipakatau mewujudkan filosofi yang mengutamakan pemahaman dan empati. Narasi dokter di Makassar mencontohkan revolusi kemanusiaan di tengah krisis global. Tindakan mereka menggambarkan potensi kebaikan dalam sistem perawatan kesehatan apa pun, menekankan pentingnya mengenali individu di luar penyakit mereka.