Kendati begitu kasat mata kegagalan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mewujudkan hak publik, berupa pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu publik, namun pemerintah tetap tidak bergeming. Perjudian nyawa publik di ruang pelayanan kesehatan tampaknya belum mampu menyentuh kesadaran dan membangkitkan nalar sehat rezim berkuasa. Bahkan, berbagai upaya dilakukan agar program ini tetap eksis dan diterima publik.
Naikan Premi
Karenanya, demi keberlangsungan program JKN dalam waktu dekat pemerintah akan menaikan nilai premi Penerima Bantuan Iuran (PBI). Ditegaskan hal ini oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/4) dua hari yang lalu, "Kami sudah mulai mempertimbangkan untuk menaikkan iuran yang dibayarkan melalui PBI, pemerintah, dari sekarang ini Rp23 ribu per orang menjadi lebih tinggi lagi, belum ditetapkan. Namun sudah ada ancang-ancang untuk menaikkan (iuran),"(sumber).
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mendukung penuh rencana ini dengan menyatakan, "Ya, ini supaya BPJS tidak defisit terus. Kedua, agar proporsional lah. Kan semuanya ditanggung, layanannya semakin naik tapi iurannya tetap. Itu defisit terus nanti,"(sumber).
Kemenkespun melakukan uji coba tarif baru INA-CBG'S, sebagaimana dinyatakan Kepala Bidang Jaminan Kesehatan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Doni Arianto, "Nantinya bisa tarif INA-CBG's atau premi yang naik terlebih dulu bergantung kebijakan pemerintah. Yang pasti saat ini semua sedang kita hitung dan disimulasikan antara tarif dengan premi. Kita ingin INA-CBG's ini sesuai dengan kondisi dan hospital based rate di Indonesia," (sumber).
Logika Naif
Penting dicatat, sikap pemerintah mengatasi persoalan defisit JKN dengan kenaikan nilai premi dan berbagai upaya teknis lainnya tidak dapat dipisahkan dari pandangannya yang naif. Sebagai akibat logika sekuler kapitalistik dijadikan sudut pandang dalam memahami berbagai persoalan serius yang membelit program JKN. Akibatnya, sungguh fatal. Persoalan ideologis serius direduksi ke tataran teknis belaka. Bahkan, berpijak pada asumsi bahwa persoalan dapat diatasi dengan berlalunya waktu dan sejumlah perbaikan teknis.
Pandangan menyesatkan ini dinyatakan Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek ketika menghadiri Rakerkesda Sulawesi Utara (Sulut) di Manado, Selasa (9/4). "JKN memberikan manfaat menjaga kesehatan masyarakat, memang masih mempunyai masalah, baru mencapai lima tahun, harus dibenahi step by step," (https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/19/04/10/pppfri428-menkes-secara-bertahap-jkn-akan-dibenahi). Beberapa bulan sebelumnya pandangan serupa juga dilontarkan Presiden Jokowi, "Mengenai sistem JKN kita (pemerintah), kita ini baru memulai (program JKN), jadi kalau ada, masih ada masalah, masih ada problem di lapangan, hal-hal teknis di lapangan, ya mohon dimaklum,"( sumber).
Sudah tidak terhitung upaya teknis pemerintah selama lima tahun program JKN diterapkan. Berkali-kali dana segar disuntikan agar defisit tidak berlanjut. Demikian pula tidak satu dua peraturan yang dikeluarkan demi keberadaan BPJS Kesehatan. Seperti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
Hasilnya, krisis pelayanan kesehatan yang berujung pada pertaruhan nyawa publik berlanjut. Ditandai biaya berobat yang terus melangit, pelayanan kesehatan yang tunduk pada kepentingan bisnis BPJS Kesehatan, diskriminasi dan defisit kronis BPJS Kesehatan yang berdampak luas.
Fakta tentang semua tidak perlu lagi diuraikan bahkan sudah jadi perbincangan umum. Baru-baru ini misalnya, seorang istri menjajakan ginjal untuk biaya pengobatan suaminya karena biaya berobat yang mahal sementara tidak semua pelayanan kesehatan ditanggung BPJS Kesehatan (sumber). Semua ini cukup menjadi bukti, betapa logika naif rezim yang berlandaskan pada sudut pandang sekuler liberal berakibat fatal.
Bukan Sekedar Masalah Teknis
Siapapun yang melihat dengan pandangan jernih, mendalam dan menyeluruh akan sampai pada satu kesimpulan bahwa berlarut-larutnya krisis pelayanan kesehatan hari ini bukanlah persoalan teknis semata. Tetapi, persoalan paradigmatik, ideologis dan sistemik. Buah penerapan sistem kehidupan barat sekuler, khususnya sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi.
Tampak dari dominasi pandangan barat sekuler pada keputusan politik rezim tentang pelayanan kesehatan, setidaknya pada tiga hal. Pertama, kesehatan jasa yang harus dikomersialkan. Publik harus membeli pelayanan kesehatan dengan membayar premi kepada lembaga keuangan asuransi kesehatan wajib BPJS Kesehatan. Kualitas pelayanan ditentukan nilai premi. Bagi yang miskin (Penerima Bantuan Iuran) dibayarkan pemerintah dengan kualitas kelas tiga.